JATI MENARI DI ALAS BURNO


Bakso gerobakan di Bromo tidak berbeda jauh dengan bakso keliling yang sering lewat depan rumahku. Tapi kenapa rasanya lebih nikmat Bakso Bromo ya? Mungkin karena aku makan Bakso Bromo setelah melintasi sisi Selatan Pulau Jawa sepanjang ribuan kilometer dengan sepeda kayuh. Mungkin juga karena memang Bakso Bromo punya sisi magis yang mampu menghipnotis tidak hanya di lidah, tapi juga di hati.

Dengan tergesa-gesa aku menghabiskan Bakso Bromo. Beberapa kali kutengok jam di layar handphone. Kabut semakin tebal, tanda-tanda akan turun hujan. Tadinya gerimis sudah turun, kemudian berhenti. Perjalanan ini diselimuti rasa cemas. Jika turun hujan saat ini, aku tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Senduro. Aku harus berhenti dan menginap di rumah warga Ranu Pane. Setelah perkampungan Ranu Pane, hanya ada hutan yang ditutup oleh pepohonan lebat dan berlumut. Dingin dan hening.

“Alas Burno jalannya sudah bagus pak?” tanyaku membuka percakapan dengan Penjual Bakso Bromo.

“Masih banyak lobang mbak, lumutan juga.” Jawab Penjual Bakso Bromo sambil memasang tutup pada dandang bakso yang kebulan uapnya mirip seperti awan letupan gunung berapi saat batuk.

“Kemarin hujan pak? Jam segini…” Aku menjalin keakraban dengan Penjual Bakso Bromo, karena rasa cemas tak kunjung hilang dan aku berharap mendapatkan jawaban yang melegakan seperti ‘Tidak hujan’.

“Hujan mbak beberapa hari ini.”

Aku harus bergegas! Hasrat untuk menghabiskan Bakso Bromo mendadak hilang. Jika aku terus makan dan tidak segera melanjutkan perjalanan, aku akan terjebak di Ranu Pane.

“Pak, baksonya enak, tapi saya buru-buru. Sisanya dibungkus saja bisa pak?” Penjual Bakso Bromo mengambil plastik dan memasukkan sisa bakso dari mangkuk ke dalam pembungkus di tangan kirinya. Penjual Bakso Bromo menasehati supaya aku berhati-hati karena Alas Burno jalannya banyak lubang dan berlumut. Dia juga menyarankan padaku untuk segera bergegas supaya tidak bertemu hujan di tengah alas.

Alas Burno menghubungkan Ranu Pane dengan Senduro Lumajang. Jalannya turun berkelok kelok dan panjang. Ada beberapa tikungan yang curam dengan jebakan lubang di sisi kanan dan kiri, sehingga menyulitkan kendaraan dari arah atas, jika berpapasan dengan kendaraan besar dari arah bawah. Tangan kanan dan kiri bergantian menarik rem supaya sepeda kayuh tetap seimbang di jalan turun. Tidak jarang jari tanganku menjadi kram karena terus menerus memegang rem dan perpaduan hawa yang sangat dingin. Setiap lima hingga sepuluh kilometer aku harus berhenti menepuk tangan kanan ke tangan kiri secara bergantian untuk meregangkan otot yang tegang dari lengan hingga jari tangan. Jika lengah sedikit, aku bisa kehilangan keseimbangan, kemudian terjatuh.

Belum lima kilometer berjalan, aku harus berhenti. Peta digital yang menyajikan rute perjalananku berbunyi terus menerus. Tak biasanya begini.

“Kenapa berisik sekali?” Aku buka pengaturan dan menonaktifkan nada notifikasi. Peta digital ini berbunyi memberikan peringatan saat ada belokan tajam, supaya para Kuda berhati-hati, itupun jika nada diaktifkan. Pengaturan sudah selesai dinonaktifkan pada opsi nada. Seharusnya tidak ada lagi bunyi meskipun masih terdapat belokan tajam.

“Tiitt… tiitt… tiitt…”

Kenapa masih berbunyi? Seharusnya tidak begini. Jangan berisik ditengah hutan yang sunyi, jangan riuh membangunkan yang sedang tidur. Aku berhenti lagi dan memastikan pengaturan nada sudah nonaktif.

“Sudah jangan berbunyi lagi ya! Kita sama-sama capek. Jangan protes terus”

Mataku terpaku pada layar peta digital. Semua OFF, tidak ada yang ON. Lalu mengapa masih berbunyi? Aku diam sejenak, kupandangi pohon pohon yang berbaris rapi di kanan dan kiri jalan. Pohon yang menjulang tinggi menggapai langit Alas Burno. Dari sisi belakang, aku mendengar suara kaki menginjak ranting yang berserakan di tanah. Dengan cepat aku menoleh ke sisi belakang memastikan siapa yang datang padaku di tengah Alas Burno?

Dia menatapku dengan mata coklatnya. Dia masih kecil, tidak membahayakan, aku gemas melihatnya.

“Hai monyet, lagi apa kamu?” kusapa dia yang mencuri-curi pandang. Monyet itu tidak beranjak pergi, dia terus memandangku. Entahlah apa yang ada dalam pikirannya? Sementara dia terus memandangiku, aku memikirkan hal yang tidak wajar. Dia betul monyet atau bukan ya?

Dalam hatiku muncul keraguan dan kecurigaan dari tatapan kosong mata monyet itu. Aku memasang kembali peta digital pada stang sepeda kayuh, dan bersiap untuk pergi. Tatapan itu aneh. Binatang di hutan biasanya kalau tidak menyerang, dia akan ketakutan saat bertemu manusia. Tapi monyet itu hanya diam dan tak berpaling memandangiku.

Dia pasti bukan monyet!

Sementara aku masih memikirkan monyet yang aneh, peta digital ku kembali berbunyi, “Tiitt… tiit… tiitt…” Aku menjadi hilang kesabaran. Pikiranku diserang dugaan-dugaan yang tak masuk akal. Aku semakin cemas, aku kalut dalam perjalanan di Alas Burno.

“Tetap waras, tetap fokus.” Aku menasihati diriku sendiri dan tak sedetik pun mataku lengah dari pandangan jalan Alas Burno. Aku tak menoleh ke arah manapun selain jalan didepanku, diiringi irama bunyi tiitt tiitt tiit dari peta digital.

Aku mulai menyesuaikan diri dengan iramanya. Kulepaskan kecemasanku. Kubuang pikiran buruk yang muncul dari dalam hati dan merasuk ke pikiran. Aku harus bisa menikmati semua yang ada di sekitarku. Sama hal nya aku menjadi terbiasa menerima kekecewaan dan kegagalan dalam hidup, hingga kehadiran rasa kecewa dan gagal bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Pikiran dan hatiku harus bisa beradaptasi dengan kehidupan di alam semesta.

Setelah kuijinkan diriku menerima keindahan dari alam semesta, satu persatu keindahan itu nampak. Pohon Jati yang sebelumnya diam memasung diri di kanan dan kiri jalan Alas Burno, perlahan bergerak berjalan memutar, lalu menari mengikuti irama nada peta digital. Nada dan gerak berpadu menjadi selaras menghibur jiwaku yang sedang menatap sisi lain kehidupan alam semesta di Alas Burno.

Aku menikmati pertunjukan tarian Pohon Jati Alas Burno yang diiringi nada dari peta digital. Ini seperti lelucon, tapi ini nyata dia menari dengan indah, hingga aku kebingungan membedakan antara nyata atau halusinasi.

Comments