Dia Bukan Jalang


Pagi pagi sekali aku bangun, sengaja ingin mencuri waktu melihat kerutan di mukanya yang pucat. Celak hitam menebali garis mata bawah hingga selebar setengah senti. Kulit muka pucat dan kasar, tak pernah mendapatkan sentuhan ahli kecantikan manapun, sejak dua bulan yang lalu. Padahal sebelumnya, dia adalah seorang model iklan 'facial wash' yang dielu-elukan punya kulit bersih dan segar. Itu dulu. Kini, wanita malang itu hanya bisa ongkang-ongkang di kasur lusuh. Bukan hanya seprainya yang nampak lusuh, baju-bajunya pun terlihat kusam. Dia adalah seorang pemalas. Malas oleh waktu, uang, arti bahagia, dan kenyataan.
Dia bukan seperti ini. Aku mengenalnya sejak kami masih sama-sama mencintai organisasi pramuka, masih suka dengan serial Lupus, lagu 'Kita' Sheila On Seven masih menjadi lagu wajib untuk dinyanyikan bersama saat ke kantin, kamar mandi, ataupun bolos sekolah dan lebih memilih main PS. Itu cerita sembilan tahun yang lalu, saat kami duduk di bangku SMP.
Dia mengambil nafas dalam, lalu terbatuk. Uhukk..uhukk...
"Kamu?"
"Habis jogging, bingung mau kemana. Mau ke pasar, nyari apa?" kusodorkan segelas air putih. Ditolaknya. Tangannya meraba-raba kasur, mencari sesuatu dibalik lipatan selimut.
"Ini?" tanyaku seketika menemukan apa yang dia cari. "Ambilin korek di saku celana." dia menunjuk pada balik daun pintu dengan jari yang tidak lagi lentik. Dark!
"Celana lusuh" batinku. Kepulan asap di jalan, tak beda menyedihkannya dengan asap disini.
"Sampai kapan akan begini?"
Dia tak menjawab. Hanya diam, lalu mengalihkan perhatian, "Wah kopinya habis. Nge-Teh aja ya?". Aku mengangguk. Sebenarnya, sudah dua bulan lalu aku berhenti minum kopi. Aku sudah katakan padanya, aku sakit maag. Sepertinya dia lupa.
"Oh iya, kamu kan sakit, aku buatin susu aja." Dia beranjak ke dapur. Dia adalah wanita baik. Dia bukan jalang. Dia tidak seperti yang dikatakan media. Meskipun dia pemabuk, pemakai narkoba, perokok, dan segala keburukan yang dia lakukan.
"Hidup itu dinikmati." ucapnya datar, muncul dari balik pintu dengan segelas milo cokelat. Bagaimana cara dia menikmati hidup? Sampai dengan mudahnya mengatakan itu padaku. Selayak memberikan pencerahan dalam hidup orang lain, dimana hidupnya lebih kelam.
"Kapan kita pergi?"
"Kurang tahu. Hidup sedang susah. Kalau ada tiket gratisan, kita bisa pergi pergi sesukanya."
Iya. Jalan begitu panjang. Gersang. Dan kita terkungkung dalam kesunyian malam. Dalam gemerlap beling bernanah. Maafkan aku. Jika saja kita tidak pernah berkenalan, dan berkawan. Jika saja kita tidak saling mengenal. Jika saja malam itu aku lebih memilih sendiri daripada berdua dengan lelakimu, dan tidak kubiarkan badai hati membunuh separuh hidupmu. Maafkan aku. Akulah jalang, bukan kau.

Comments