PEMBALASAN SHAZH


29 Desember 2008. Pukul 08.20 WIB. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah hubungan. Pertama kali aku mengenalnya ketika berada di toko buku. Dia datang dengan terburu-buru dan meminta maaf padaku.
“Maaf bu, saya datang terlambat hari ini. Tolong jangan bilang Pak Manajer ya? Saya janji besok akan datang tepat waktu. Hari ini jadwal check up ibu saya, sudah gitu jalanan macet gara-gara demo. Wah, hari gini masih ada demo… payah deh Indonesia.” Ucapnya sambil berkali-kali menjabat tanganku.
Ups, dia mengira saya ini adalah Kepala HRD di toko buku tersebut.
“Oke saya maafkan. Tapi saya bukan Kepala HRD atau apalah yang kamu pikirkan. Saya kesini mau beli buku.” Jawabku singkat lalu pergi meninggalkan dia. Namun keesokan harinya, entah magnet merk apa, yang membuatku kembali ke toko buku itu. Aku hanya ingin tahu siapa namanya. Dan rasa penasaran itu terlalu luas untuk menempati ruang sempit hatiku. Atau, ini yang namanya jatuh cinta? Tak mungkin. Aku baru sekali bertemu dengannya.
“Shazh” jawabnya pendek, ketika aku memberanikan diri menanyakan namanya.
“Namaku Ceeril” Kuulurkan tanganku dan menjabatnya akrab.
Namun kini sudah lima tahun, aku baru menyadarinya. Rasanya baru kemarin aku bertemu dia di toko buku itu. Hidup memang berputar. Ada senang, ada juga sedih. Aku telah merasakan segala kenikmatan hidup dengan Shazh, dan suatu saat nanti aku harus siap dengan bagian yang lain, yaitu sedih.
“Tok tok tok…” bunyi ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Kuletakkan foto Shazh diantara foto mama, papa, dan aku.
“Shazh??” Pria yang membuatku jatuh cinta sejak lima tahun yang lalu.
“Aku nggak lama, ada sesuatu yang ingin aku katakan ke kamu. Tapi aku tak bisa bilang…” Shazh menyodorkan sebuah amplop putih tertutup rapat, tak ada tulisan apapun yang menggambarkan isi di dalamnya. Kubuka perlahan dengan getaran jantung yang cukup hebat. Kudapati selembar kertas berwarna krem dengan tulisan rapi yang teramat panjang jika kubaca saat ini juga. Pandanganku menjadi pudar. Rupanya sihir dari rangkaian kata itu begitu dahsyat. Aku memang belum membaca apapun dari tulisan itu. Tapi hatiku mampu mencernanya hingga kalimat terakhir. Pening dan pedih yang kurasakan.

27 Desember 2008. Pukul 18.56 WIB. Shazh ulang tahun. Usianya baru 22 tahun, lima tahun lebih muda dari aku, tapi dia terlihat lebih dewasa. Dia paling suka kepiting. Membuatku semakin dekat dengan Shazh. Dan kepiting ini adalah satu diantara banyak kenanganku dengan mama. Mamaku paling jago masak kepiting. Di goreng, direbus, atau dipanggang, semua lezat. Yang paling tak bisa kulupakan adalah ketika senja datang, aku dan papa duduk di teras belakang rumah sambil memandangi bintang di langit, mama datang dengan kepiting rebus favorit papa. Kenangan seperti inilah yang membuatku mencintai papa dan mama, meski mereka sekarang tak bersama lagi.
"Kok melamun??" Shazh menepuk pundakku dari belakang. 2 piring kepiting rebus berada di kedua tangannya. Hum. Lezat.
"Waaa... kepiting rebus. Tahu begini, mestinya aku ajak papa, dia pasti suka. Sudah lama dia nggak makan kepiting rebus." selorohku mengalihkan perhatian Shazh, sambil mengamati setiap bagian kepiting ini, mencoba mengingat kembali pada setiap bagian hidup yang kulewati bersama mama.
"Serius?? Papa kamu suka kepiting rebus?"
"Ya, tapi dia hanya mau makan kepiting rebus buatan mama."
Sejenak kami berdua saling pandang. Aku tak bisa menahan perasaan rindu pada mama. Bagaimana rasanya hidup tanpa seorang mama? Sepi. Sementara papa bersikeras tak ingin menikah lagi. Sakit hatinya pada sosok perempuan membuatnya kapok untuk menjalin hubungan. Semakin sepi hari-hari yang kujalani. Shazh hadir memberi warna dalam hidupku. Memberi bentuk nyata dari sebuah kasih sayang. Dia mampu memberikan cinta tulus yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Rasa aman dengan segala tanggungjawabnya. Shazh adalah alasan kenapa aku menolak tawaran bea siswa sekolah di luar negeri dan tetap ingin berada di kota ini. Dan lebih tepatnya, kami berencana menikah setelah Shazh menyelesaikan kuliah grafisnya.
***

28 Desember 2008.
"Seperti apa coba?" tanya Shazh ketika aku mencoba menebak dosen perempuan termuda di kampusnya.
"Rambutnya panjang, berkulit putih, tubuhnya tinggi semampai, trus pintar. Ya kan?" jawabku sok tahu.
"Huuu... sok tau!" Shazh menarik tanganku dan mendaratkan ciuman manis di keningku.
"Mau kemana lagi? Capek Shazh..." komplit dengan wajah memelas yang paling jelek, aku menahan langkahnya.
HP-nya berbunyi. SMS. Sesaat wajahnya menjadi tegang. Keceriaannya hilang seketika, terbawa oleh huruf-huruf yang merangkai kata dalam baris SMS itu. Aku tak tahu apa yang dibacanya. Nampaknya kabar buruk.
"Ke makam. Ibuku disana." jawabnya singkat.
Langkah kami menjadi semakin cepat. Degup jantungku tak kalah hebatnya dengan Shazh. Aku mencoba bertanya-tanya, apa yang terjadi?
"Aku berharap kita akan terus bersama, entah seperti apa nanti keadaannya. Dan aku janji nggak akan ninggalin kamu." ucapku menenangkan Shazh ditengah perjalanan menuju TPU yang tak jauh dari kampusnya. Kugenggam erat tangannya.
Lima belas menit perjalanan menuju TPU, cukup menjelaskan tentang kepergian ibu Shazh. Tidak heran jika Shazh menyembunyikan identitas ibunya selama ini. Hingga menjelang pernikahan kami pun, dia tak ingin membahas tentang ibunya. "Ibuku pasti datang di acara ijab kita nanti. Jadi, jangan cemas ya. My Mom is surprise for us." Shazh meyakinkan aku ketika aku terus mendesak ingin bertemu dengan ibunya. Kini semuanya sudah terjawab.
“Ibuku mengidap penyakit mematikan.” Ucap Shazh lirih.
“HIV?” tanyaku melengkapi, dan Shazh hanya mengangguk pelan. Beginikah cara Shazh menyembunyikan tentang keberadaan ibunya? Seharusnya aku mengetahui sejak dulu. Mestinya aku tak pasrah, ketika dia terus mengalihkan pembicaraan mengenai ibunya. Calon istri macam apa aku ini. Kini, aku hanya bisa menyesali dan menyalahkan diriku sendiri. Akulah orang paling egois di muka bumi ini.
Orang-orang dengan wajah duka berkerumun disini. Wajah yang kukenal dengan baik. Merekalah yang kurindukan bertahun-tahun. Mereka yang melengkapi arti sebuah keluarga. Mereka adalah saudara-saudara mama. Kuyakinkan dalam hati, ini semua hanya mimpi. Atau mungkin aku sedang berkhayal. Tapi bukan, ini adalah sebuah kenyataan yang harus kuterima. Batu nisan bisu itu yang bercerita. Almarhum Rahmani, itu mamaku.
***

27 Desember 2008. Pukul 05.15 WIB. Udara pagi ini terasa beda dari hari-hari lain. Dan cuaca kota ini, tak pernah kutemukan selama 27 tahun aku tinggal disini. Kuingat betul, kapan terakhir kali aku melihat pelangi. Dengan warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan warna lain yang tak mampu aku deskripsikan. Tapi aku sangat bisa menjelaskan apa yang terjadi duapuluh tahun yang lalu. Ketika perceraian papa dan mama dianggap jalan terbaik. Waktu itu aku masih sangat kecil untuk memberi saran bagi mereka, namun kini aku cukup paham alasan mereka cerai. Mama ketahuan selingkuh, dan hamil 3 bulan. Tak sempat aku tanyakan pada mama, 'Apakah adik dalam perut mama akan menjadi adikku juga?'
"Pergi dari sini!!! Dasar pelacur!!!" hardik papa dengan tendangan bertubi-tubi mengenai tubuh mama. Dan inilah pertama kalinya aku lihat lelaki yang aku hormati itu marah.
***

29 Desember 2008. Pukul 08.30 WIB. Kubuka mataku perlahan. Kulihat dengan cermat sekelilingku. Aku di rumah sakit. Kuingat sekali lagi, apa yang terjadi padaku beberapa waktu yang lalu.
“Kamu tadi pingsan. Papa sudah baca suratnya.” Papa memelukku. Kudengar isak tangisnya ketika mencium keningku. Ya, aku ingat dimana terakhir kali aku bertemu Shazh, lalu jatuh pingsan setelah menerima surat itu.
“Dimana Shazh?”
“Lupakan Shazh, Ceeril.” Papa memberikan sebuah kertas lusuh. Ada bekas remasan kemarahan yang tertinggal pada lembar kertas krem itu. Meski begitu, aku masih dapat membaca baris kalimat dalam tulisan itu.

Ceeril,
Anggap saja aku sebagai orang yang paling kejam di dunia. Tapi aku bangga melakukannya. Lima tahun adalah waktu yang cukup singkat untuk membalas semua kesedihan ibuku. Rahmani. Kau dan papa-mu pasti ingat dengan perempuan itu. Yang kalian campakkan 20 tahun yang lalu. Ibuku berjuang menghidupi aku. Segala pekerjaan dia lakukan, termasuk menjadi pelacur, itu demi aku. Ibuku menderita HIV / Aids, dan bertahun-tahun kami hidup dalam kesengsaraan.
Ceeril,
Kini kau akan merasakan apa yang telah ibuku rasakan. Dicampakkan, beserta bayi dalam kandunganmu itu.

Shazh.

Comments