SEBUAH CERITA DARI PEMENTASAN TEATER : NES


Maret 2009. saya mengikuti Pentas Monolog yang diselenggarakan oleh Teater Biru. entah dalam rangka apa, acara tersebut diadakan. dan pertanyaan mengherankan selanjutnya yang saya nanti dari hati : Kenapa saya ikut?

seorang teman kerja (di perusahaan yang dulu) bernama Tedy adalah panitia Pentas Monolog tersebut. dua alasan yang bisa mengampuni saya dari pertanyaan tersebut : saya pernah ber-teater ketika SMA, dan saya bosan dengan hidup standar.

lantas, saya menggandeng Niko sebagai penata musik. saya menangani penulisan naskah dan actress. director kami kerjakan bersama.

NES
pagi pukul 05.00 WIB.
dering ponsel itu berbunyi lagi, setiap pagi, jam lima pagi.
rambutnya coklat bercampur oranye, mirip lapisan besi yang tertimpa panas berkali-kali dan dihujani berulang kali pula. rumah sempit tak berkamar, tak ada dapur. hanya kasur, meja, asbak, dan sisa puntung rokok semalam. tak ada bir, hanya kopi yang sudah duduk pruk di meja sejak kemarin-kemarin. rasanya? tak tahu-lah. pahit yang semakin menjepit kerongkongan. pahit ini yang mampu menghadang seribu pasukan lapar.

Nes, perempuan yang selalu mengumbar kata benci kepada ibunya. bangun oleh dering ponsel yang katanya, 'jembatan menuju rumah ibu'.
"Haaahhh... ibuku lagi." dipandanginya layar ponsel. dijawab seperlunya, lalu kembali di kursi malas. Nes diam, menyiapkan kata-kata terbaik untuk mencaci ibunya.
"Ibuku selalu memaksa aku untuk bekerja. selalu begitu!", sementara tangan kirinya menyiapkan batang putih yang diyakininya mampu mengusir stres, meski nikotin terus menghuni ruang dalam tubuhnya. Nes menemukan korek dalam saku celananya.
isapan rokok menjadi jeda menuju pembelaan, "... padahal aku sudah berusaha. nih lihat, buku Harry Potter ini merupakan wujud dari usahaku." seraya menodongkan buku legendaris dari J.K. Rowling, entah seri berapa, nampaknya itu tidak penting.
"Aku sudah bilang berkali-kali pada ibuku, AKU TUH PENULIS. KERJAANNYA YA NULIS! bukan cari kerja... ya nggak?" Nes kembali mencaci ibunya.
"Tapi dia nggak mau ngerti." isapan demi isapan seakan membuka jalan baginya untuk mengutuk seseorang bernama ibu. lanjutnya, dia pernah bermain kelamin dengan seorang pria botak dengan perut buncit melebihi ukuran ibu hamil. semua itu, Nes lakukan untuk mendapatkan uang.
"Uang itu..." kali ini isakan tangis yang mengalir, bukan isapan mild. "Uang itu... untuk menebus obat. Ibuku sakit." air mata mengalir. saluran sudah dibuat, jadi mudah sekali alirannya.

hening.

"Menjadi pelacur pun tak menyelamatkan perempuan tua itu! maksudku... ibuku." Nes meraih ponsel di meja. "Hanya ini yang membuatku dekat dengan ibu. tapi, sedekat apapun dengannya... tak membuatku takut. dia tak kan mampu menembus ruangku. aku sekarang bebas tanpa paksaan untuk kerja. AKU KAN PENULIS. KERJAANNYA YA NULIS!"
Nes kembali berbaring. namun sebelumnya, dia telah memasang alarm dari ponselnya, untuk pukul lima besok pagi. mari kita tunggu ponsel itu berdering, Nes terbangun, mencaci, mengutuki ibunya, dan kehilangan lagi.

pagi pukul 05.05 WIB.


Comments

genial said…
kehidupan seperti inikah yang bisa memberi warna tersendiri buat septi?!?!