STORY : DIA DAN SAYA SATU


Saya mengenal dia sudah sangat lama. Bukan hitungan satu atau dua tahun, tapi hampir dua puluh dua tahun, menjelang hari ulang tahun dia, bulan September tahun ini. Dia selalu menceritakan semua hal pada saya. Mulai dari cerita konyol saat dia dihukum membersihkan halaman sekolah, ketika masih sekolah dasar dulu. Gara-garanya hanya sepele. Saya tahu dia ingin sekali menjadi seorang penyanyi. Dia ingin terkenal. Suatu ketika dia menyanyi sangat keras di dalam kelas pada waktu istirahat. Tiba-tiba seorang guru memanggil dia. Tak lama kemudian, dia keluar dari ruang guru dengan isakan tangis sambil menenteng sapu lidi. Dia bercerita pada saya, katanya dia hanya ingin menyanyi, bukan bermaksud membuat onar di kelas dengan berteriak-teriak. “Apa nyanyian saya seperti teriakan orang gila?” begitu tanya dia berkali-kali pada saya. Dan berkali-kali pula saya jelaskan, mereka tuli dan tidak tahu bagaimana merdunya suara dia. Lalu dia terdiam, sedikit lega. Hanya dengan ucapan seperti itu, bisa membuat hatinya sedikit tenang. Saya menjadi senang, karena sejak saat itu, dia tak lagi membicarakan bahkan menggerutu soal nyanyian itu. Entah karena dia sudah mulai tahu diri bahwa suaranya yang sama sekali tidak merdu, atau sebaliknya, dia menjadi tidak peduli dengan orang lain.

Seiring waktu berjalan, saya semakin dekat dengannya. Kalau sebelumnya, saya hanya sebagai teman curhat, sekarang sudah lebih dari itu. Dia mulai percaya pada saya. Baju terusan warna merah yang dipakainya waktu malam perpisahan sekolah menengah pertama itu, adalah pilihan saya. Beberapa keputusan yang diambilnya, juga meminta pertimbangan dari saya. Dan tidak bisa saya pungkiri, saya semakin sayang padanya. Saya selalu ingin ada, dimana pun dia berada. Karena saya sangat yakin, dia membutuhkan saya. Terutama saat menghadapi teman-teman barunya waktu sekolah menengah atas.

Penyakit lamanya yang sudah terkubur pada masa sekolah dasar dulu, muncul kembali. Dia selalu merasa tidak percaya diri. “Badan saya terlalu banyak lemak, apalagi di bagian pipi. Saya malu, teman-teman selalu mengejek, dan mereka bilang saya gembrot!!” katanya pada suatu sore, di sebuah food court. Dan berkali-kali pula saya menjelaskan, mereka buta dan tidak tahu bagaimana indahnya pipi dia. Lalu dia tersenyum, sedikit lega. Saya juga ikut senang, melihat dia tersipu malu mendengar pujian dari saya. Begitu indahnya kehidupan antara saya dan dia, sampai akhirnya dia mengenal seorang lelaki bernama Jarwo.

“Jarwo adalah kekasih saya.” Begitu ucapnya tiba-tiba. Saya tidak hanya kaget, tapi juga marah. Ini tidak adil. Saya jauh mengenal dia, tapi mengapa Jarwo yang dikenalnya baru satu minggu, mendapat perhatian lebih dari dia? Saya seperti tak punya arti lagi bagi dia. Tapi saya tidak pernah mengatakan kekesalan ini, pada dia. Saya sadar, cinta dia lebih besar kepada kekasihnya dibanding kepada saya. Walaupun begitu, saya tidak lantas menjauhinya. Saya selalu ingin ada, dimana dia berada. Terkadang, saya harus sembunyi-sembunyi mengikuti kemana dia dan kekasihnya pergi.

“Saya akan pergi jauh dengan kekasih saya, mungkin akan pulang besok.”

Dia akan pergi jauh dengan kekasih dia, mungkin akan pulang besok, begitu dia berbisik pada saya. Lalu perasaan saya cemas. Saya ingin ikut dengannya. Bagaimana caranya agar saya bisa ikut kemana dia pergi? Saya ingin menjaganya. Sampai kapanpun, saya ingin selalu berada disampingnya, walau kenyataannya saya harus berada dibelakangnya. Cinta dan sayang saya memang sangat besar padanya. Dan saya beranikan diri untuk mengikuti dia dan kekasihnya pergi.

***

Jalan ini sangat tidak nyaman. Banyak batu-batu kecil dan besar yang tidak tertata rapi memenuhi jalanan. Saya sampai terengah-engah melewati jalan ini. Udara dingin terkadang membuat napas saya sedikit tersendat, apalagi jalan menanjak dengan dipenuhi bebatuan, semakin menyulitkan perjalanan saya mengikuti jejak dia dan kekasihnya. Satu pertanyaan melintas dalam batin saya, “Mengapa dia mau diajak kekasihnya melewati jalan jelek seperti ini? Padahal saya tidak pernah mengajak dia pergi ke tempat sejelek ini. Seingat saya, tempat paling jelek yang pernah saya dan dia datangi, paling-paling kantin sekolah. Itu pun jalannya tidak bebatuan, dan tidak dimalam hari seperti ini.”

Langkah saya ikut terhenti, melihat dia dan kekasihnya masuk dalam sebuah rumah kost. Sepertinya ini tempat tinggal kekasihnya. Sama seperti yang dia ceritakan pada saya dulu, kalau kekasihnya adalah seorang mahasiswa di kampus elite, dan kekasihnya tinggal di sebuah kost dekat perbukitan.

Saya memutuskan untuk berdiri disini, mengamati dia dan kekasihnya dari kejauhan. Dia terlihat malu-malu saat kekasihnya mengajak masuk ke dalam, walau pada akhirnya dia masuk juga. Tidak lama kemudian, kamar kost yang semula terang menjadi padam. Saya tidak lagi melihat bayang wajah dia, apalagi kekasihnya. Saya termenung sejenak. Rasa sayang saya pada dia, yang akhirnya memunculkan keberanian diri untuk mendekati kamar kost itu. Saya lihat jam tangan saya. “Jam sepuluh malam.” Saya menjadi ragu. Saya takut kalau ada orang yang melihat saya mengendap-endap seperti ini, akan mengira saya adalah pencuri atau lebih parahnya perampok? Namun tekad saya sudah bulat. Saya mencintai dia, dan saya ingin mengetahui apa yang mereka lakukan. Semakin dekat saya mengendap, semakin nyata pertanyaan saya terjawab. Ada desahan kepuasan disela irama musik klasik macam apa, saya tidak paham. Desahan yang kencang dan tertahan, saya tahu dia pasrah dengan kaki terlentang. Saya melihat dia dari balik jendela.

***

Saya bertemu dia siang ini. Dia ingin saya datang kerumahnya. Saya berusaha melupakan kejadian semalam. Saya sangat cinta padanya. Perasaan cinta yang selalu bisa memaafkan, padahal saya terluka. Saya merana. Dan apalah kata-kata yang tepat untuk saya!! Saya ingin marah. Gadis kecil saya diambil orang lain. Sahabat saya pergi dari pelukan. Wanita yang saya cintai, sudah tidak utuh lagi. Namun, saya masih bisa tersenyum pada dia. Seribu senyum saya, tak mampu munculkan kebahagiaan untuknya. Dia malah menangis, awalnya hanya isakan, lalu berlanjut pada derai yang cukup deras. Saya memandangnya dalam. Saya ingin yakinkan pada dia, “Inilah saya, selalu ada dimana pun kamu berada.” Air matanya terus mengalir. Kusodorkan sapu tangan dan sebatang rokok. Diambilnya rokok. Lalu dia mulai tenang. Tak lama kemudian wajahnya terlihat tegar dan dia bercerita.

“Saya benci kekasih saya. Jarwo itu bajingan!!”

Lalu… Tanya saya ingin mengetahui lebih tentang seorang kekasih yang dikatakannya ‘bajingan’ itu.

“Saya akan memutuskan hubungan dengan kekasih saya.” Ucapnya lirih.

Saya kaget, namun sangat senang. Gadis kecil saya tidak jadi diambil orang lain. Sahabat saya tidak jadi pergi dari pelukan. Tapi, wanita yang saya cintai, tetap tidak utuh lagi. Walaupun begitu, saya masih cinta dia. Saya akan menerima dia apa adanya. Inilah cinta saya. Lalu saya beranikan diri mengatakan kalau saya mau menerima dia apa adanya. Saya buktikan cinta tulus itu. Namun ternyata, dia tetap tidak bisa menjadi milik saya. Bukannya menerima cinta saya, justru sebaliknya, dia bunuh saya dengan menusuk perut dia dengan pisau.


(saya tulis lama sekali, lupa kapan hari dan tanggalnya)

Comments