DOA DALAM KANTIL


sore, pukul setengah lima, saya sudah bersiap. ini kedua kalinya, saya dan ibuk ke rumah dukun. yang pertama, hari Minggu, lupa tanggalnya, jam setengah lima juga. selalu setengah. sama halnya dengan rasa setengah hati untuk melangkah kesana.

sampai di rumah dukun, gang pertama rumah ketujuh, warna hijau. seorang pria, usia hampir sama sepertiku. "Saking pundi?" pria muda itu bertanya. saya hanya menoleh ke ibuk, "Nambangan mas, badhe..." belum selesai ibuku menjelaskan maksud kedatangan kami, "Monggo pinarak... panjenengan entosi sekedap." pria muda masuk kamar, hilang dibalik selambu.

wanita tua dengan keriput di muka. kulitnya putih bersih. baju putih motif hitam, sama seperti baju yang saya kenakan. kami duduk bersila di sisi kirinya. sementara di depan kami, bunga mawar merah dan kenanga setengah layu memenuhi ceteng hijau. kalau boleh saya menebak, bunga mawar itu dibeli pagi tadi. sementara kenanga, kemarin sore mungkin.

"Badhe tangklet wayah bu..." ibuk membuka percakapan.
"Iyo nduk, nek dudu kowe sing rene, aku ora tangi. awakku rodho ra penak. guloku wolung atus patang puluh lima. wes seminggu, aku ora nrimo tamu." ucap wanita tua, yang saya sebut bu dukun. mestinya saya memanggil mbah, karena dia sudah tua. tapi sebutan 'Bu' sepertinya lebih ngajeni, ketimbang 'Mbah'.

"Jon... Joni..."
seorang bernama Joni tak menyahut, malah pria muda yang saya jumpai di ruang tamu, "Mas Joni taksih medhal Bu... wonten napa?"
"Bukune sing nyimpen Joni, arep njaluk tulung golekne nggone wayah sing apik. sakjane kabeh dina ngono kuwi apik nduk. tapi ya kudu di pitung, ya tho?"
"Inggih." saya dan ibuk menyahut serentak.

tak lama kemudian, Joni datang dengan satu pak korek. diambilnya tiga kotak, diberikan kepada bu dukun, dan sisanya disimpan di almari dekat tumpukan buku ramalan.
"Le, golekno bukune ibuk"
benar. Joni mengambil buku ramalan yang saya pandangi sedari tadi.
"Menika bu, korekipun siyos...?"
"Ora le, ora arep nyumet... cumak ngitung."
Joni pergi. kini kami bertiga. bu dukun membolak-balik buku ramalan. seperti yang Anda tahu, buku tua, dengan kertas ratas, saya jadi ingat buku Pepak Bahasa Jawa. warnanya hampir sama. rupanya juga, sangat tua dan lusuh, namun bernilai tinggi. semakin tua, semakin langka.

"Jam pitu esuk nduk, apik kuwi... opo jam loro awan? milih wae." bu dukun menutup bukunya. meyakinkan ibuk bahwa jam tujuh pagi atau dua siang, adalah waktu yang baik.
"Jam kalih mawon bu... jam pitu niku kesuleten, enjing sanget." ibuk mengkonfirmasi juga, setelah memandangi saya tanpa bertanya, hanya butuh jawaban melalui wajah bingung saya.

bu dukun mencari-cari sesuatu. "madosi napa bu?" tanya ibuk. "golek adah nduk. nang kono enek pora, golekno plastik sak eneke..." pinta mbah dukun, kali ini dia menatap saya, mengharap bantuan. saya pungut dari tempat sampah, tas kresek warna merah, ada kelopak mawar merah tertinggal di dalamnya. benarkan?? mawarnya dibeli pagi tadi.

bu dukun mengambil setangkai bunga mawar tanpa batang, dari ceteng. ditaruhnya ke dalam plastik kresek, kemudian kantil putih, dibelah satu sisi di badannya yang lonjong. sambil mengucap doa, kantil diremas-remas. seakan melalui jemarinya, bu dukun sedang menyelipkan doa ke dalam kantil tersebut. doanya terlalu cepat untuk saya simak. namun saya bisa menangkap maksud doa bu dukun : 'Maut ada di tangan Gusti Allah, tapi tolong jaga dan lindungi .....' bu dukun terdiam sejenak, lalu menanyakan nama ibuku.
"Yayuk."
bu dukun melanjutkan doa. bungkusan itu sudah berpindah tangan, di saku ibuku.
"Kembang iki di kum ya nduk." bu dukun berpesan.
"Diunjuk napa mboten bu?"
"Iyo nduk... ampreh penak olehmu ngandani wong liya, perkara hajatanmu kuwi mau."
"Inggih bu."

kami pamit pulang, setelah lipatan amplop diselipkan diantara mawar merah di ceteng, oleh ibuku.



Comments

Wasyoko said…
sebuah yang sangat diagungkan