Kabut tebal mengantarku pada sebuah meja persegi dari bahan
kayu jati, di sudut kedai kopi yang letaknya tak jauh dari kampus. Disanalah
untuk pertama kalinya, kujumpai perempuan yang tak sebegitu ayu, tanpa riasan merah
di pipi, tak ada goresan hitam pertanda garis mata yang biasa dilukis para
perempuan supaya terlihat menawan.
Kamu, perempuan yang teramat biasa, dengan
kulit sawo matang, mata sedikit sipit, dan tonjolan tulang pipi. Kamu, duduk
sendiri di kursi paling selatan, sementara aku sangat jauh di sisi utara. Baju
yang kamu pakai, sudah tidak nge-tren lagi. Kaos dan Blazer coklat, itu model
baju akhir tahun lalu. Namun celana yang menempel di kaki belalangmu, celana
jeans yang tak pernah membosankan, seperti wajahmu.
Kamu, kemudian menoleh padaku yang sedari tadi terus
memandangi, setengah tak percaya, aku masih menjumpai perempuan seperti kamu di
kota ini. Wajahmu murung, tak sedikitpun kutemukan senyum. Andai saja kamu bisa
sedikit menarik garis bibirmu, sehingga terbentuk senyuman, pasti tulang pipimu
akan terlihat menonjol, dan semua lelaki di kedai kopi ini akan kompak melempar
pandangan padamu, wahai perempuan yang
belum kutahui namanya.
Dan, masih aku menelusuri setiap bagian dari wajahmu
yang mulai terlihat gundah, kamu mulai tak nyaman duduk disana, serba salah ditambah
masalah yang sedari tadi menggantung membebani senyummu. Aku, telah membenamkan
bola mataku pada kubangan dukamu.
Kamu, wahai perempuan
yang belum kutahui namanya, beranjak pergi seperti ingin lekas menyudahi,
mengakhiri tatapanku yang seakan merampas gerakmu, menghambat lakumu, dan
mungkin telah menguncimu dalam sebuah ruang yang kuberi nama : penasaran. Siapa
kamu, wahai perempuan yang belum kutahui
namanya?
Comments