Karena kita memang tak lebih baik dari burung pelatuk yang
berjajar di tepi dermaga, menanti rupa samar-samar ikan tengiri yang menari di
lautan atas.
Kita, tak ubah seperti harimau kelaparan yang hanya ingin
memangsa, tanpa menilik dulu kedalam hati kelinci yang mulai pasrah dan
gemetaran.
Pemilik kita tak benar-benar yakin, apakah manusia bisa
terbang tanpa merampas sayap si burung merpati, atau berenang sepanjang usianya
hanya mengandalkan tangan dan kaki.
Ternyata memang sulit, jika kita hanya berjalan telanjang
apalagi di tengah rembulan malam yang rupanya mirip telur dadar diatas
penggorengan.
Kita ini siapa?
Kita tak pernah tahu, siapa yang ada dalam diri meski seribu
cermin memandangi, sejuta umat beropini, bahkan jika kau sebar lembar-lembar
pertanyaan ‘siapa kita’? sekalipun.
Dan Tuhanmu hanya mampu tersenyum, tanpa sepatah kata,
ketika kau dengan malu-malu menanyakan siapa kita?
Kita terus memburu, mengejar, tak bosan menanya pada perempuan
berperut keriput seperti kulit jeruk, “ibu, siapa kita?”
“Kalian adalah anak ibu” hanya ini kebenaran yang tak bisa
disalahkan, oleh burung pelatuk, oleh harimau, bahkan oleh Tuhanmu!
Comments