TOILET MINIMARKET

Bukan suatu yang mudah, seperti ketika kau melihat lawakan di televisi yang melahirkan tawa hingga pecah. Bahkan kau tak akan mempercayainya, ketika sepuluh menit berlalu, di sebuah toilet minimarket, dua orang yang tak saling kenal dipertemukan oleh waktu, saling memandang, dan sepakat untuk bersama menggunakan toilet minimarket.



Sejak perjalanan keluar dari hotel, Ray sudah tak bisa menahan emosi. Dia telah mengorbankan jam kerjanya, dan pula uangnya untuk menyewa sebuah hotel yang mewah, berharap mulut perempuannya bisa melumat penisnya hingga muncrat. Dan kedua tangan kekarnya yang terlatih dengan barbell setiap pagi, bisa meremas dada perempuannya, yang lebih sering dipamerkan dengan kaos-kaos transparan style korea.
“kamu kalo pakek baju jangan yang ngeliatin belahan gitu kenapa sih?”
“ini modis, kenapa? Cemburu? Perempuan diluar sana juga banyak yang pakek baju kayak gini…!”

Hampir dua jam, Ray menunggu perempuannya yang katanya hanya sebentar mau keluar, mencari udara segar, sebelum mereka bercinta hingga terkapar dalam rasa lapar. Karena tak sabar, handphone pun disambar.
“halo!! Lama banget sih, kamu kemana?”
“ini lagi jalan-jalan, liat baju di butik, di sampingnya studio foto deket hotel. Bentar kok, tinggal bayar. Kamu siap-siap deh.”

Dalam sebuah malam yang penuh penantian, tentang perasaan lelah dan pikiran jengah, Ray putuskan untuk mengenakan lagi setelan kemeja dan celananya. Tak ada yang dilumat, apalagi diremas, Ray pun berkemas. Diujung pintu kamar hotel, perempuannya melongo dengan kedua tangan penuh tas belanjaan.
“loh, sayang mau kemana?”
“pulang.”

Di sebuah perjalanan pulang malam itu, kira-kira jam sepuluh malam, Ray menghentikan mobilnya di sebuah minimarket, sementara perempuannya masih saja mengunyah permen karet.
“mau ngapain sayang?”
“mau onani.”
“serius?”
“otakmu kebanyakan shopping, jadinya bego kayak gini ya…”
“ya, maksudnya ituuu, kamu mau beli apa? Aku nitip rokok ya!”

Ray semakin muak dengan perempuannya yang sama sekali tak merespon kekesalannya. Perempuan yang hanya bisa ditelanjangi setiap tanggal muda, saat dompet masih penuh dengan lembaran duit gambar sukarno hatta. Ray menghampiri penjaga minimarket, mau numpang toilet.
“mbak, disini ada toiletnya ngga?”
“itu mas, masuk aja, samping gudang mas.”

Bahkan, Ray tak sempat pipis di hotel mewah yang dibayarnya dengan uang yang sudah menipis. Dia hanya masuk, melepas baju, lalu mengelus penis, dan malam itu berujung miris. Dua jam hanya untuk menanti perempuannya yang katanya hanya sebentar mau keluar, mencari udara segar.

Di toilet minimarket, Ray bertemu seorang wanita berbaju ungu, mukanya lugu, tapi bikin nafsu. Ray dan wanita itu, dua orang yang tak saling kenal dipertemukan oleh waktu, saling memandang, dan sepakat untuk bersama menggunakan toilet minimarket.

*

Setelah menunggu lama, akhirnya pesan pendek itu datang juga. Barisan kata yang dinanti, demi rupiah untuk makan selama sebulan ini, Wanda sudah melayani sejak Presiden RI masih Megawati. Hingga Presiden berganti beberapa kali, pekerjaannya masih sama, memanjakan peli.
“Wanda, untuk tamu yang satu ini, kamu harus nurut ya. Dia bayar mahal.”
“Halaaah… bayarnya emang mahal, tapi yang dikasih ke gue palingan ya cuman nopek!”

Meski bayaran selalu nopek, Wanda tetap saja tak berhenti jadi perek. Dan malam itu, Wanda hanya diminta telanjang, tubuhnya tak dipegang, apalagi digerayang, meski Wanda sudah tak sabar ingin mekangkang. Lalu, sesekali diminta berpose dan jepret sana, jepret sini.
“mas, ini gue cuman difoto? Enggak diapa-apain?”
“iya mbak.”
“tapi bayarannya ngga dipotong kan?”
“ya jelas enggak mbak.”

Sesekali fotografer itu mengarahkan Wanda untuk lebih santai, menikmati rasa seperti saat bercinta, dan memberikan aura orgasme, nikmat yang klimaks.
“susah mas, gue ngga bisa pura-pura orgasme, dipegang aja enggak!”
“coba dibayangin mbak, sampai keluar aura orgasme-nya, abis itu udah kok. Kurang dikit lagi.”

Jika harus telanjang lalu ngangkang hingga beberapa kalipun, Wanda sanggup. Tapi jika hanya membayangkannya, ini yang susah, tak mudah melahirkan gairah.
“gini deh mas. Elo telanjang sekarang, kita maen! Gimana?”
“maaf mbak. Saya ngga bisa.”

Wanda sudah tak sabar, jika harus menunggu pemotretan kelar. Dia nyerah, meraih bajunya dan berbenah, meninggalkan studio foto yang letaknya bersebelah dengan sebuah hotel mewah. Di sebuah perjalanan pulang malam itu, kira-kira jam sepuluh malam, Wanda menghentikan mobilnya di sebuah minimarket.
“mbak, ada toilet?”
“itu mbak, masuk aja, samping gudang mbak.”

Gara-gara menahan pipis, Wanda tak mampu menyelesaikan sesi pemotretan hingga habis. Meninggalkan fotografer konyol dengan umpatan perasaan dongkol. Dasar fotografer goblok!
Di toilet minimarket, Wanda bertemu seorang lelaki mengenakan setelan baju kerja, mukanya biasa, tapi nafsunya membara. Wanda dan lelaki itu, dua orang yang tak saling kenal dipertemukan oleh waktu, saling memandang, dan sepakat untuk bersama menggunakan toilet minimarket.

Wanda dan Ray, dua orang yang tak saling kenal, sama-sama dikecewakan oleh pasangan, sama-sama ingin pakai toilet minimarket, untuk masturbasi dan onani.

**

Comments

Bayu Lebond said…
Oh..begitu cepat dosa itu terbuat..tp ray tetep bayar wanda rungatus?
septi sutrisna said…
jangankan membayar, kenalan saja belum sempat. tunggu kisah selanjutnya. apakah Ray bisa bertemu Wanda lagi? Hanya sekedar menanyakan siapa namanya.
diponk said…
ten minutes stand iki judule :D
septi sutrisna said…
karena kesempatan memang tak boleh disia-siakan, ya kan?