TERIMA KASIH IBU

Saya sedang duduk di lantai, beralaskan karpet merah bercorak tokoh kartun kesukaan anak saya, dan bersandar pada kaki sofa cokelat beludru yang dibeli kredit setahun yang lalu. Dari sini saya memandangi keluar, mengintip dari pintu yang terbuka sedikit, terlihat hujan ricik ricik, dan sepatu pantofel produksi rumahan yang saya dapatkan dari pasar tradisional.

Sepatu pantofel ini harganya murah, hanya tiga puluh tujuh ribu rupiah, meski desainnya menyerupai sepatu keluaran Nevada, tapi ini harganya tak serupa. Saya beli karena tak ada sepatu yang layak saya pakai untuk kerja kantoran. Selain sandal jepit dan sepatu snickers, yang lain tak ada. Awalnya saya cukup bangga saat pakai sepatu pantofel itu, tapi lama-lama ini sangat mengganggu. Dengan kualitas nomor sekian, sepatu pantofel ini sungguh tak nyaman. Dan kalau siang, apalagi cuaca sedang panas bikin keringat makin deras, kaki saya ikutan berkeringat, kalau sudah begini baunya juga menyengat.

Suatu siang, ketika jam istirahat, teman-teman kantor sedang berkumpul, ada yang makan siang, ada yang hanya sekedar menggosip. Well, they are woman!

"Sepatu bermerk mall itu ngga bikin kaki bau. Makanya kenapa saya lebih suka beli sepatu di mall daripada beli di pasar, toh selisihnya juga cuma dikit kok..." Duh, seketika hati saya jadi sumpek ketika dengar seorang teman bilang begitu. Seketika kaki saya langsung keringetan, dan tak lama seisi ruangan penuh dengan bau kaki saya.

“Euh, bauk… kaki siapa?” seorang teman protes. Sementara yang lain saling pandang. Dan saya, segera pergi meninggalkan ruangan tersebut, dengan muka setengah cemberut. Rasanya udah ngga sabar, pengen segera tanggal satu, trus beli sepatu.

“Ketika gajian nanti, saya harus beli sepatu merk mall biar pas keringetan, kaki ngga bau lagi” Angan-angan saya sambil memandangi kalender. Namun, tanggal yang saya tunggu masih amat jauh. Dan saya harus lebih sabar lagi menanti.

Besok, tanggal satu yang sudah lama ditunggu, sama rasanya seperti seorang perempuan yang sedang hamil tua, sembilan bulan sekian hari lebihnya, menanti hari kesekian itu datang, rasa sakit menerpa, lalu doa senantiasa terucap. Ya! Seperti itulah rasanya, kurang lebih.


Namun, ketika tanggal satu tiba, angan-angan saya sudah tiada, imajinasi tentang merasakan sentuhan lembut kulit sepatu menyentuh kaki, sudah tak ada lagi. Apalagi bayangan akan kilapnya kulit sepatu yang terpancar, memesona siapa saja yang menatapnya, telah sirna. Meski di tangan saya kini, terdapat sepasang sepatu Nevada dengan ukuran mini.

"Terima kasih Ibu, udah beliin sepatu baru" senyum anak saya membuat saya merasakan seperti memakai sepatu baru juga. Dan tak sabar dia memakainya. Dia, bercerita banyak tentang teman-temannya yang sering ngeledekin sepatunya yang sudah ngga bagus, ngga keren, dan ‘ngga’ yang lain-lain.

Barangkali seperti ini pula perasaan yang dirasakan ibu saya. Ketika saya memaksanya untuk membelikan celana jeans baru, ketika saya beranjak remaja. Kala itu ibu bilang, uangnya mau dipakai buat beli kacamata baru karena minusnya bertambah. Saya tak peduli, terus merayu supaya dibelikan celana jeans baru. 

Dan, ketika ibu menyerahkan anak perempuannya dipinang seorang pria yang baru dikenalnya belum genap satu tahun, hati seorang ibu menuntun saya, bahwa ini tak salah. Terima kasih ibu, kau ajarkan kesabaran dan ketulusan, dan saya bisa merasakannya, tentang apa yang telah kau relakan demi anakmu. Kasih sayang ibu yang membuat saya bisa menjadi ibu seperti sekarang.

~Jangan pernah membenci ibumu, kau tak tahu apa saja yang telah dia relakan untukmu~

Comments