Brown Night



Selalu ada tingkatan dalam kehidupan. Selayaknya warna cokelat, ada cokelat muda, setengah tua, dan sangat tua.

Pekatnya malam ini seperti batangan coklat yang baru saja dikeluarkan dari kulkas lantas dimasak dalam panci panas, dan meluber hingga lengket kemudian mengental. Dalam hembusan angin malam, coklat ini menjadi jawaban disetiap tanya tentang sejauh mana aku berjalan, sejauh mana aku mengejar bayang dirimu yang tak kunjung menjadi nyata. Tentang music blues penghantar tidurku, dan menjumpaimu lalu melepasmu lagi ketika pagi menyapa. Janis Joplin, menemaniku malam ini.

**
Dan sejak pertemuan itu, yang kutahu hanyalah namamu. Firman. Serta senyum paitmu, sepahit kopi yang tersaji tanpa gula, tanpa krim penyetara pahit yang sering diminta para pembeli, tapi kau tak pernah memberi. Dibutuhkan tujuh kali bertatap muka denganmu, dan memesan original coffee sugar less, baru kubisa menambahkan krim dalam kopi pesananku. Dan memang, dibutuhkan tujuh kali bertemu supaya aku benar-benar tahu bahwa kau hanya peduli pada biji kopi, bukan pada perempuan yang seliweran datang menghampirimu sekedar ingin tahu siapa kamu.

Tak mudah untuk bisa mengenalmu lebih dari sekedar teman ngopi. Ribuan kilometer memang wajib ditempuh untuk bisa tahu, kau ada disitu dan masih saja bersama biji-biji kopi itu. Tidaklah berlebihan jika kubaptiskan kau sebagai nabi suruhan para dewa yang datang untuk menyadarkan aku dari imajinasi kegilaan tentang lelaki. Dan, lagi-lagi kuhanya bisa menemukanmu dalam secangkir kopi pekat, mirip coklat yang biasa kubuat disela waktu yang tak tentu.

Aku mematung diri diujung aula berkayu, hanya untuk menunggumu. Menanti kapan kau bisa menjadi bagian dari malam sepiku. Datang sebagai lelaki yang dinanti, bukan sekedar imaji bahkan bukan pula dengan uang ratusan ribu untuk meniduriku. Dan bisakah aku menyebutmu lelaki pencuri perhatianku, lelaki yang tak pernah sebentar pun membalas senyum rayuanku. Lelaki yang tak bisa menangkap, dan tak mudah masuk perangkap.

Kewajaranku, rasa lelahku menyadarkan bahwa kau benar-benar nabi utusan para dewa yang tak mungkin bisa kugapai. Kau hanya ada dalam legenda para rasul, tak suka wanita, tak ingin mencinta. Sampai pada malam ini, aku lelah mengejar bayangmu. Aku pasrah dalam secangkir coklat pekat. Dalam tingkatan warna coklat manapun, kau tak pernah ada. Bukan coklat muda, coklat setengah tua, bahkan coklat tua. Kau tak pernah ada dalam sejarah hidupku secara nyata.

“Gimana kopinya?” kau menghampiriku, setelah tujuh kali pertemuan dan setelah tujuh kali aku mencoba menarikmu dari pusar hidupmu untuk terhanyut dalam rayuan maut, kau tak juga ikut surut. Semakin jauh dan kutemukan diriku yang terperangkap dalam duniamu. Menelan kopi pahit ini, setimpal dengan rasa ingin tahuku tentang seorang Firman.

“Masih pahit.” Kusruput dengan muka setengah kecut. Lalu, kau balas dengan senyuman seraya pergi meninggalkanku sendiri, lagi. Beginilah caramu menarik dan melepas. Kepahitan ini menjalar dalam setiap lekuk organku. Membuat kaki menjadi kaku. Kepalaku ikutan pilu. Setiap kali melihatmu yang hanya bisa kupandang, sebatas awan di langit yang terbentang, kau ada dalam bentuk nyata namun tak bisa kuraih.

Hasratku makin memuncak, kegilaanku menjadi nampak, padamu seorang Firman.

**
Masih bersama Janis Joplin, entah ini lagu keberapa. Mataku sudah tak sanggup mencerna dengan benar, barisan lagu winamp dalam layar monitor. Coklat panas yang lengket, menemani malam pekat berpadu dengan hawa pengap, kamar ini masih menjadi saksi. Dinding kamar ini, setia menjadi bagian dalam misi pemuasan hasratku tentangmu, Firman.

Ada sekitar ratusan lembar foto yang terpampang pada dinding. Tak satupun kutemukan senyum diujung bibirmu. Namun, wajahmu yang menyerupai nabi utusan para dewa, selalu bisa menenangkan malamku yang selalu gusar, dikejar cinta yang lapar, dan seringnya tergiring oleh arus besar dengan aroma yang hambar. Kau tak perlu tahu bahwa aku ada disetiap penjuru aula berkayu yang siap menghanyutkanmu dalam malam-malam yang tak wajar. Dalam rasa cinta yang teramat pekat kadarnya.

Aku tak ingin lelah mengejarmu, Firman.

**

Selepas Ashar dalam lampu temaram menuju aula berkayu, ingin menemuimu. Setelah hampir empat bulan aku menjadi bagian dari kota ini, kuharus segera meninggalkanmu, membungkus rapi kenanganmu termasuk didalamnya senyum mahalmu. Ini terakhir kalinya aku diam-diam menyimpan fotomu. Diam-diam menculikmu dan memasukkan dalam dunia imajinasiku. Dalam bayangan fantasi penutup malam pekat dalam secangkir coklat.

Jika selama ini tanpa kehadiranmu secara nyata aku sudah bisa sangat puas dalam setiap percintaan fantasi dan imajinasi, bagaimana bila kau benar-benar nyata, tidur seranjang, telanjang, dan mengejang. Bagaimana aku bisa menikmati setiap lapisan kulitmu yang halus, selalu terbungkus dalam malam imajinasiku yang rakus.

Aku mencintaimu, menyetubuhimu dalam imajinasi malam semu, Firman.

“Jam berapa ini, kamu udah sampai disini? Dari mana?” Sapamu menyambut kehadiranku yang satu-satunya tamu di ruangan aula berkayu. Kulirik jam tangan, empat kurang sepuluh menit. Sore ini lembab, setelah seharian kemarin hujan turun lebat. Pekarangan aula berkayu terlihat basah, dan kau sibuk menyekanya dengan lap pel. Kedua tangan kekarmu nampak semakin kuat meski terbungkus kaos dan aku tak bisa melihatnya dengan jelas, tapi mata nafsuku selalu tertuju pada bagian tubuhmu yang kau sembunyikan.

Sementara aku masih menelusuri lekuk tubuhmu, hembusan angin sore menyertakan aroma wangi tubuhmu ke arahku. Menyerbu indera penciumku, dan merangsang otak untuk segera bertindak. Kuhentikan langkahku. Kutunggu hingga aku benar-benar siap untuk menatap, lalu berucap, ‘kamu…’ apa ya, bukan, bukan begitu, yang benar begini ‘kamu sekarang itu…’ ah salah. Bagaimana sebaiknya aku memulai percakapan ini. Mungkin begini, ‘kamu itu udah punya pacar belum sih?’

“Tumben sendirian, mana perempuan yang biasanya nemenin itu?” tanyaku tanpa basi-basi. Aku lelah jika terus memanipulasi isi hati. Aku tak terburu, namun aku ingin segera tahu, tentang dirimu, Firman. Karena aku sangat ingin mengecupmu pelan, jika bisa kulakukan sore ini juga, sebelum kereta malam membawaku kembali ke rumahku, ke tempatku yang sebenarnya, setelah masa pengobatan selama empat bulan yang ternyata sangat menyiksa.

Kau hentikan langkahmu, untuk pertama kalinya kau hantarkan senyum, lalu menghampiriku, senyummu seraya berubah menjadi tawa, kau terbahak, dan sesekali ngakak. Aku pun ikut tertawa, menertawai diri sendiri yang sudah tak kuasa menahan rasa penasaran. Dibawah rindang pohon pekarangan aula berkayu, dengan lap pel di tangan kirimu, untuk pertama kalinya aku tersipu. Perlukah kulanjutkan tanya, ‘Jadi perempuan itu waitress? Bukan kekasihmu?’ Dan aku masih dalam ujung tanya dibalut senyum balasan untuk menyeimbangkan suasana, aku mencoba mengerti tentang siapa perempuan itu. Kutunggu kau bilang, bahwa benar perempuan itu bukan kekasihmu.

Dalam sekian detik aku menunggu kau utarakan tentang perempuan itu, berhembuslah angin sore yang tak lagi sepoi, derunya semakin menjadi, membikin lantai aula berkayu yang sejak jam empat kurang tadi sudah dibersihkan oleh pemiliknya, kini kembali lembab dengan beberapa partikel debu bercampur abu menempel pada lapisan kulit kayu. Tiupan angin dari arah utara, membawa serta berita tentang sebuah awal dari bencana, semacam malapetaka.

Warga sekitar mulai gusar, menanggapi datangnya angin berdebu dan semburan abu, terbang mengikut serta dalam sebuah angan yang tertangkap menjadi makna penting akan adanya suatu peristiwa.

Aula berkayu tak lagi bersih. Pintu-pintu yang tadinya sudah terbuka siap menerima tamu, kini kembali ditutup. Dari balik kaca jendela berukuran persegi panjang, dua kali setengah meter, kulihat angin semakin kencang membawa debu dan abu berterbangan. Kau datang membawa secangkir coklat, hangat. Aku tak percaya kau bisa menyajikan coklat yang nikmat.

Yang kutahu, kau seorang barista yang tak mau memberiku gula bahkan krim susu. Yang kutahu, kau tak pernah mau membalas senyumku, dan maka dari itu kuanggap kau rasul yang tak suka wanita, apalagi mencinta. Yang kutahu, kau hanya ada dalam dunia imajinasiku, bukan duduk bersila disamping kiriku, menikmati secangkir coklat yang sangat nikmat. Yang kutahu, kau tak pernah membersihkan aula berkayu ini sendiri, namun tadi kulihat kau bahkan mengepelnya dengan kedua tanganmu. Yang kutahu, kau tak pernah tahu betapa aku menginginkanmu menemaniku dalam tidur panjang di malam yang teramat menyiksa, malam pekat di sebuah rumah pesakitan.

**
Sore jam empat kurang, aku sudah niatkan mampir ke aula berkayu sebelum masa pengobatanku usai, sekedar berucap selamat tinggal, meski aku hanya sekali melihat wajahmu, itupun tanpa sengaja ketika kau datang sebagai sukarelawan, menyumbangkan buku dan baju layak pakai pada kami, pasien dengan gangguan kejiwaan. Sejak pesonamu menghinggapi duniaku, sejak itu pula seorang suster bernama Maria, selalu sedia menceritakan tentang dirimu. Kegilaanmu pada biji kopi. Aula berkayu yang selalu ramai dikunjungi para pecinta kopi. Dan tentang namamu, Firman.

Di setiap malam yang mulai terasa pengap, suster Maria datang dengan secangkir coklat dan selembar fotomu. Ditempelkannya pada dinding kamar supaya aku bisa menjadi tenang, tak lagi mengerang, dan lama-lama aku adalah pecandu dirimu, Firman. Aku menggilaimu dan virusmu telah menyebar ke seluruh organ tubuh, menyentuh isi hati hingga aku yang hampir mati bisa bangkit kembali.

Empat bulan sudah berlalu, kini aku dinyatakan sehat secara fisik, dan jiwa sudah siap menerima fakta. Seorang dokter spesialis yang selama ini merawatku, melalui secarik surat melepas kepulanganku, beberapa kali mengelus rambutku dan mendaratkan ciuman dikening. Katanya, selama merawatku, dia selalu teringat anaknya yang juga pernah menjadi pasien kejiwaan sepertiku, dan itu pula alasan kenapa dokter itu mengambil spesialis kejiwaan.

Yang kutahu, sore ini badai abu, dan aku yang biasanya terbaring sakit dikamar nomor  tujuh, di sebuah rumah sakit jiwa di Surakarta, sudah siap untuk pulang ke rumah, berkumpul bersama keluarga. Namun, aku tak jadi pulang sore ini. Hujan abu mengguyur seluruh Pulau Jawa, dan aku harus terdiam di kamar ini, sambil memandangi fotomu, Firman. Tapi kini, aku dalam kondisi tidak gila, tanpa imajinasi, dan ini bukan fantasi. Aku hanya tahu namamu adalah Firman, selebihnya hanyalah sebuah fiksi.

Selalu ada tingkatan dalam kehidupan. Selayaknya warna cokelat, ada cokelat muda, setengah tua, dan sangat tua. Ada orang gila, lalu sembuh, dan berharap mengenalmu secara nyata.


Comments

dewi said…
Inilah firman yang aku harapkan di trapesium malam itu. Berani muncul meskipun sebuah misteri atau mungkin imajinasi, aku yakin rasa penasaran dan ketidakpuasan mengenai keintiman akan menjadi nafas kisahnya, sedangkan untuk masa yang akan datang dan kenyataannya kelak biarlah menjadi bagian yang belum terkisahkan.
Like this sis
septi sutrisna said…
makasihhh muach muach