Sebuah Pagi

Tentang jemuran yang masih basah, tentang senyapnya perkotaan, dan sejuknya langit putih menyelimuti Gunung Merapi. Saya temukan Sebuah Pagi dari kamar kost teman, bernama Vete.


seperti ini suasana pagi di kamar kost teman saya vete @indiartanti 

Sebuah Pagi : Jam enam lebihnya tiga puluh dua menit.

Entah bagaimana aku mencerna, dalam setiap detik yang tak bisa termaknai, dalam sebuah pagi yang membangunkan badan lelah dengan nyawa setengah, di sebuah kamar sempit bersama dua manusia perempuan yang mukanya kusut kelelahan. Pelarian panjang telah dimulai. Sejak subuh sebelumnya, kami menerjang tebalnya kabut pagi hari di bawah lereng Gunung Lawu, dan disambut paginya Gunung Merapi.

“Kita mau kemana?” singkat kujawab pesan pendeknya. Setelah beberapa detik yang lalu, dia berusaha menawarkan pilihan untuk mengobati rasa lelah berkepanjangan. Yuni, teman perjalanan kali ini. Tanpa harus kujelaskan isi hati, dia tahu aku ingin pergi jauh, amat jauh. Dan tibalah kami di Yogyakarta, tepat pukul delapan lebih lima belas menit. Pelan, kuketuk pintu kayu sebuah rumah tak terawat, pekarangan yang teramat kotor, dan beberapa perkakas bekas tak terpakai ngangkrak dimuka rumah kontrakan itu.

“Masuk aja, ngga dikunci kok” seorang lelaki meneriaki dari dalam rumah. Pintu kami buka, dua ekor anjing kampung yang disayang pemiliknya, menyambut kami dengan galak. Namun, tak lama kemudian keduanya berubah jinak, mengendus-endus lalu tak sabar kami pun mengelus-elus monyong mulutnya yang ingin dimanja.

Sebuah rumah kontrakan berisi empat lelaki masing-masing berasal dari Ambon, Kalimantan Barat, dan yang dua asli Jawa, entah dari kota mana. David, pria Ambon yang kami jujuk pertama kali adalah teman lama suamiku, bersedia meminjamkan kamar mandinya untuk sekedar cuci muka hingga mandi dan keramas. Debu jalanan membuat kami harus mencuci rambut supaya rambut tak kusut.

mengamati Barista sedang meracik kopi,
sudah cukup untuk mengobati hati


Kami memutuskan untuk tak berlama-lama di rumah kontrakan David, entah kenapa, mungkin karena sungkan, dan tak lama kemudian kami pamit untuk meneruskan jalan. Setelah berhasil menghubungi seorang teman lainnya, bernama Vete, kamu bergegas untuk menentukan tempat ketemuan. Bertiga, kami memilih untuk bertemu di Klinik Kopi. Tiga perempuan penggila kopi.

Sore ini, tepat jam empat dan kami tak ingin terlambat, sudah memesan tempat di sebuha kedai kopi favorit. Sementara pemilik kedai kopi baru sampai di ujung anak tangga, belum apa-apa, aku sudah tak sabar ingin segera memesan, secangkir espresso dan berharap bisa menjadi obat atas segala kelelahan dalam perjalanan jauh ini. Perjalanan melelahkan tak hanya menyita tenaga, tapi tentang jiwa.

ini Ari @arsawibowo teman ngopi sore itu


Single shot espresso tersaji, jenis kopi Sindoro, yang katanya pemilik kedai, ini asli dari Temanggung Jawa Barat. Aku tak pernah salah dalam memilih kopi, meski ini kupilih secara acak, namun selalu pas dengan perasaanku yang selalu ingin berontak. Baiklah, sejauh ini aku pergi, hanya ingin tak mengingatnya. Hanya butuh perban yang bisa menutup luka. Kubutuh secangkir kopi untuk mengobati. Sakit ini.

Di kursi antrian, sambil mengamati pemilik kedai kopi menata mejanya, seorang lelaki sepantaranku duduk disamping. Sedari tadi kudiamkan, tak kuhiraukan. Sementara mata dan tanganku tak lepas dari kamera Nikon D60 pinjaman dari teman. Biji kopi ini tak hanya nikmat, tapi juga memikat, membuatku ingin menangkapnya dalam kemampuan fotografi ala kadarnya.

“Suka motret ya mbak” lelaki itu basa basi menyapa, dan hanya mampu kujawab ‘eh’.
Kami berkenalan, ‘Septi’.

“Ari” lelaki itu menyebutkan namanya, dan beberapa menit kemudian saya lupa, siapa namanya. ‘Eh, sorry, siapa tadi? Andy ya…’

“Ari mbak…” lelaki itu memperjelas, lalu mengenalkan dirinya, dan kutahu ternyata dia seorang dosen.

Tak butuh waktu lama, kami bisa mudah menerima seorang lelaki dalam obrolan kami berempat. Dibawah bulan bermuka pucat, diantara pohon-pohon jati, dibelakang sepasang kekasih yang sedang memadu kasih, aku, yuni, vete, dan ari mulai bercerita. Mengenalkan diri masing-masing, dan aku masih menjadi manusia asing dalam pertemuan malam itu.


Sebuah Pagi : Jam enam lebihnya tiga puluh satu menit


Kuambil kamera Nikon D60 pinjaman dari seorang teman. Ada sebuah pagi yang tak boleh disia-siakan. Ada sebuah kenangan yang tak mungkin bisa kulupakan. Tentang pertemuan dan perpisahan. Tentang dicintai dan berusaha ingin dimengerti. Tentang sebuah pagi yang ternyata lebih indah dari rupa lelaki manapun. 

Comments