TEH CELUP




Apa bedanya, malam ini dan malam-malam setelahnya. Mengapa kau tak juga menyadarinya. Untuk apa aku disini. Buat siapa aku menjalani rutinitas ini.

… dan aku sudah mirip seperti teh celup …

Jam lima pagi.

Aku terbangun dalam keadaan setengah sadar. Di sebuah kamar dengan bau pengar. Sinar lampu kamar berpadu dengan matahari yang memendar menyusup dari celah kelambu motif bunga jambu.

Kutemukan diriku masih sendiri, tanpa kau disini. Dan selalu saja begini. Namamu masih jelas kuingat. Dave.

**

Malu-malu aku mengulurkan tangan lantas kusebut namaku pelan, ‘Wanda’. Kau, adalah kakak kelasku semasa jaman SMA. Disela-sela jam istirahat, kau selalu sempatkan waktumu yang padat hanya untuk mengajakku ke kantin, makan bakso dan jus alpukat. Dan satu lagi kau tak pernah lupa, air mineral.

Selama dua tahun kita bersama, entah berteman atau pacaran, kau selalu menjadi bagian terindah yang harusnya menjadi milikku selamanya. Sebelum petaka itu datang, dan kau pergi, tak mungkin kembali. Tidak lagi. Tak ada Dave lagi. Tak ada lagi makan siang bersama. Tak ada lagi air mineral untukku.

Dalam senyapnya malam, di sebuah pelataran, dibawah sinar rembulan, dan tiupan angin pelan, kau sematkan kata-kata tentang kematian. Tentang akhir sebuah perjalanan. Dimana kehidupan tak akan menjadi abadi jika kita belum menjadi mati. Karena hidup dan mati adalah sebuah paket tanpa penawar jenis apapun meski kadang sakitnya minta ampun, jika itu benar-benar terjadi, seperti saat kau pergi. Dan tak kembali.
**

Jam lima lebih dua belas menit, masih pagi yang sama.

Aku bergegas bangun, karena dapur sudah menunggu. Perut-perut anak penghuni kost sudah mulai kelaparan. Dan sebentar lagi, teriakan Bu Lana pasti memanggil-manggil. Menanyakan tentang menu sarapan pagi ini. Jika kemarin sayur soup dan ayam krispi, lalu kemarin lusa oseng kangkung dan udang tepung, harusnya hari ini soto ayam kampung.

“Jangan lama-lama mikirnya. Apa sarapannya?” Bu Lana tak sabar menanti jawaban tentang menu sarapan pagi ini. Sementara tangannya sudah memaksa dompet terbuka menganga. Berjajar rapi uang lima puluh ribuan. Diambilnya dua lembar.

“Segitu cukup?”

“Cukup Bu.” Kusambut uang tersebut, sambil mengira-ngira apa saja yang harus kubelanja.

**

Ternyata memang tak mudah untuk melupakanmu. Selepas masa SMA, aku yang entah mau kemana. Kuliah enggak, kerja juga tidak. Sementara hidupmu sudah terencana, sebuah perguruan tinggi di Jerman memberimu beasiswa, kau adalah manusia ciptaan Tuhan yang teramat sempurna, dengan talenta yang sepersennya pun aku tak punya.

Kau terpilih dalam sepuluh besar mahasiswa Indonesia yang akan mengisi bangku khusus jurusan seni rupa di Goete Institut. Kau akan terbang kesana, menemukan teman-teman baru yang setara hebatnya dengan dirimu, yang sama luar biasanya dengan dirimu, dan mungkin beberapa perempuan cantik yang siap kau kencani.

“Jadi, kita akan berpisah?” dan aku tak mampu menampung luapan isi hatiku, kecemasanku akan kehilanganmu. Jika saja bisa, aku ingin mengatakannya sekarang, tentang perasaan yang tak bisa lagi kuingkari. Namun apakah bisa, untuk menjadi temanmu saja, aku sudah bahagia. Apalagi bisa mengisi kosongnya hatimu, menjadi satu lembar dari sekian rim kertas cintamu. Aku ingin itu.

“Kan kita bisa chatting.” Jawabmu datar, kutahu kau hanya anggap aku sebatas teman dikala waktu longgar, dan sesekali menjadi telinga yang siap mendengar. Aku hanya perempuan biasa yang tak bisa apa-apa. Hanya pecinta bakso, jus alpukat dan air mineral. Kau, adalah peracik perasaan indah dalam kadar waktu yang tak terbantah. Kau adalah yang aku inginkan.

**

Soto ayam kampung sudah matang, siap disantap oleh penghuni kost yang jumlahnya sekitar lima puluhan. Perempuan tua itu, Bu Lana tanpa aba-aba memanggilku, menanyai kabarku, bagaimana perasaanku, dan apakah aku masih setia menunggunya. Anak lelaki yang tak kunjung datang, walau sekedar berkirim gambar tentang rupanya sekarang bersama teman-temannya, dan potret kehidupannya di benua Eropa.

Dia, anak lelaki yang sudah lima tahun ini menghilang, tak kunjung datang, hingga sebuah petang mengantarkan Bu Lana pada sebuah penantian panjang. Akankah anak lelakinya pulang? Sementara kesehatannya sudah berangsur mundur, sakitnya tak lagi memberi toleransi. Untuk inilah, aku disini. Menemani Bu Lana yang hidup sendiri, menanti si anak lelakinya yang telah lama dinanti.

“Dave tak mengirimi kamu email lagi? Chatting terakhir kapan, Wanda?” Bu Lana membuka percakapan, ditengah-tengah perjamuan malam, diantara lima puluh perempuan penghuni rumah kost-nya. Dan aku hanya diam memaku diri, tak berani bilang, tak sanggup menjawab. Dalam sekian detik lamanya, kucoba menahan tarikan nafas, lalu pelan kuhembuskan. Seperti alunan lagu kesedihan, kucoba menjelaskan, tapi darimana aku memulainya, hingga perempuan tua ini benar-benar mengerti tentang sebuah realita, dan dia mau menerima ini adalah kodrat, seberat apapun itu, sekejam apapun malapetaka yang mengetuk pintu hatinya.

“Wanda…?” Bu Lana tak sabar menanti mulutku berucap, beberapa patah kata saja yang dia harap bisa menjelaskan ‘Dimana Dave berada?’ Dan aku tak bisa mengatakannya. Seketika aku menjadi arca, yang diam penuh makna, memiliki arti jika dipahami, jika dipelajari.
“Baiklah, jika kamu tak mau bilang dimana suamimu berada” Bu Lana bergegas berdiri, meninggalkan kami yang sedari tadi diam memaknai setiap ucapannya, kesedihannya yang melebihi sedihku sebagai istri.

**

“Aku pun mencintaimu Wanda. Sejak pertama aku menanyai siapa namamu, aku tak bisa berhenti membayangkan ketulusan jiwamu.” Ucap Dave dalam sebuah resepsi pernikahan kami, seminggu sebelum kepergiannya ke Jerman, mengejar cita-citanya sebagai pelukis internasional, dan selama ini dia tak kembali. Entah dimana dia berada.


… dan aku sudah mirip seperti teh celup, yang merekah merah, kemudian menjadi ampas, siap dibuang.

Comments

diponk said…
aku bagai teh celup, tenggelam dalam tulisanmu.
septi sutrisna said…
ah masa sih?? mumumu