DINGIN

Sepasang senja sedang mengujiku dalam jaring petang ini. Dalam hamparan rasa penasaran, dan sejumput keinginan yang tak terbendung. Dalam segala rasa ingin tahu, bagaimana kau bisa melupakannya, namun tak bisa. Bau rumput menyergapku dari penjuru timur, menyadarkan tentang kau yang tak bisa berjarak lebih dekat. Kau terbaring diatas belukar dan dipenuhi rasa luka, meski kita sedang diatas surga. Setetes air mata mengalir membasahi hatimu yang membeku sejak kita mendaki dari pos pertama. Kau pun tak akan mengira bahwa aku sedang menerka isi hatimu. Karena yang kau tahu, aku adalah guide-mu menuju titik ini. Kau hanya tahu, aku teman dalam perjalanan meraih kembali memori, tentang lelaki penggerus hatimu.

Kita sudah berjalan bersama selama delapan jam tanpa henti, mendaki puncak lawu. Kau masih diliputi rasa ragu, bisakah aku mengantarmu pada kenangan, yang harusnya telah lama kau hapuskan.

“Dia masih ada disini, aku bisa merasakan.” Kau pegang tanganku erat, dan aku hanya mampu memandangmu dengan sejuta rasa prihatin.  

"Benar, do. Aku merasakannya, aku mencium bau parfumnya.” Bukankah ini parfumku? Kau yang memintanya untuk mengganti parfum menyamai kekasihmu yang telah lama pergi itu. Tak lama, kau menangis lagi, rupanya kau menyadari sesuatu yang telah kau buat sendiri.  

“Bukan, do. Ini parfum kamu, bukan dia yang ada disini.” Kau beringsut memelukku, menangis menderu. Aku semakin ikut dalam pilu hatimu. Sudah, jangan menangis wanitaku. Kau tak seharusnya menangisi orang yang telah meninggalkanmu.  

"Aku harus mencarinya kemana, do? Bantu aku do.” Kau menunduk, mencoba mencari tahu didalam belukar yang menguning, karena kini musim telah berganti. Seharusnya kau pun tahu, lelaki yang kau tunggu telah terlewat oleh waktu. Kini yang ada hanyalah aku dan nyanyian pilu senja, yang sebentar-sebentar menggelegar, menyerang dalam kilatan petir.

Dan sebelum kita benar-benar basah kuyup oleh guyuran hujan dan mati oleh kikisan hawa dingin, kupeluk erat tubuhmu yang mulai tak terurus. Kau habiskan waktumu untuk mengingatnya.  

"Didalam aku sudah pesankan teh panas. Ayo kita masuk.” Kau menolak. Aku ikut basah bersamamu.

***

"Do, aku tak perlu mencarinya lagi. Aku tahu dia telah pergi. Tapi aku ingin menemuinya. Bagaimana jika sekarang saja."

Setelah setengah jam kita berusaha bertahan menantang derasnya hujan, mencoba mengacuhkan saran dari para pendaki lainnya. Kulihat bibirmu yang sedari tadi hanya tersedu kini mengikis pelan dalam sebaris permintaan. Kau bilang ingin menyerah, bukan menyerah untuk tidak mencarinya karena dingin semakin menjadi. Tapi, kau menyerah dalam dingin untuk pergi menjemputnya. Kau relakan seluruh jiwamu hanya untuk kekasihmu. Kau pintakan permohonan maaf lalu menitipkannya pada angin yang berhembus pelan. Dimana kata demi kata yang keluar dari mulutmu terurai secara terbata-bata. Bibirmu memutih melebihi putihnya kulitmu. Jari-jari tanganmu kaku, membiru. Kau nekat.  

"Do, kumohon biarkan aku mencarinya. Mengejarnya, kemana perginya dia. Aku tahu, cinta harus begini, aku akan melakukannya. Bagaimana jika sekarang saja."
Aku tak kan pernah mengijinkan. Karena kau tak harus mengejarnya, biarkan saja aku yang mengejarmu. Lelahnya menanti, biarlah aku yang merasakan. Dengarkan sayang, dingin disini sudah mengkultuskan rasa cintaku, mengaburkan mataku tentang kebenaran. Karena yang ada hanya cinta, hanya kasih sayang yang tak bisa kugantikan pada apapun. Kulihat Paras ayumu memucat meniru muka malaikat. Aktingmu mirip seperti lakon dalam teater, pucat dan dingin. Kau butuh pertolongan, karena jeritmu tak lagi kudengar, tangismu tak lagi menderu, dan dinginnya masih tetap menyekap. Aku jadi susah bernapas, semuanya menjadi tersengal. Dengan ritme hampir cepat, badanku melemas. Kau berdiri tegar disisiku, melebihi angkuhnya gunung ini. Kau lawan derasnya hujan, menghujam setiap alunan yang mengajak kita pada pintu perpisahan.  

"Do, kamu kedinginan. Ini beku. Ini kematian."

Kudengar samar-samar suaramu tak lagi terbata. Bahkan pelan-pelan aku kehilangan nyaring tangismu. Entah karena ini semakin dingin, atau kau memang sedang tak bersuara. Namun bibir pucatmu meneriaki aku. Tangismu semakin menderu dalam gerak yang padu, tanpa suara memburu. Rupanya hujan sudah mereda. Ada kuncup matahari di salah satu sudut kehidupan. Sementara aku lupa menyebutnya, itu timur atau barat. Ataukah itu tenggara? Bergerak pelan mendekat, sinar kuning dengan shadow keputihan, menghangatkan badanku yang kedinginan sejak semalam, terguyur hujan dalam kabut kesedihanmu. Dalam pinta yang berlipat ganda untuk menyelamatkanmu. Dalam doa yang tak ingin kuputus barang sejenak. Hanya ini doa yang sanggup aku hapalkan, “Jaga dia, Tuhan. Jaga dia, Tuhan”  

"Do, please jangan pergi. Aldo!"
Tapi Tuhan tetap menjagamu. Semoga aku selalu berada dalam hatimu, sama halnya Tuhan yang selalu menjagamu.

Comments