Pindah

Belaian itu datang lagi. Sentuhan lembut itu mendarat kemudian. Dan pelukan rindu beradu dalam ritme lambat, di malam pertengahan bulan. Kau datang tanpa disengaja. Mengecup kening dan untaian kalimat manis. Karena kau tetap indah seperti dulu. Tak sedikit pun berubah. Ayumu memancar dari senyum lesung pipi. Rambutmu teruntai memanjang bukan hasil sambungan. Meski tanpa busana seksi, kaulah perempuan paling seksi malam ini. Namun aku tak mampu tergoda.


Sementara aku, tak pernah menjadi keindahan bagi siapa pun. Tersisih oleh jutaan manusia keren, terbuang dengan segera. Namun, kita pernah bersama. Aku ada dalam cerita asmaramu. Meski hanya beberapa bulan menjadi kekasihmu, aku tak pernah lupa. Bagaimana kau perlakukan aku sangat istimewa, kala itu.

Kau hanya mau makan pangsit. Itu yang aku ingat selalu tentang kesukaanmu. Yang juga malapetaka bagiku. Karena aku sangat membenci mie. Kita tak pernah memakan makanan yang sama. Kau hanya mau pakai sepatu merek St. Yves. Dan aku kebingungan mencari size yang tepat dengan merk yang sesuai. Itu menyulitkan aku juga. Jika bukan Corniche, kau tak mau pakai. Itu menyedihkan. Aku bukan pembantumu, yang harus mencarikan makanan, sepatu, dan baju yang tepat untukmu. Aku juga bukan asistenmu yang harus memahami apa maumu. Aku ini kekasihmu.

Kau mengancam jika aku terlambat menjemput. Padahal kau punya sopir pribadi. Secara perlahan, kau tempatkan aku menggantikan peran Pak Basuki, sopir yang kau bayar bulanan hanya untuk mengantarmu kesana kesini. Kau permalukan aku dengan memaksaku pergi ke mini market untuk membeli pembalut. Kau pinta aku menerima telepon dari petugas bank yang rajin menelepon, mengingatkan tagihanmu yang tak ingin kau bayar. Lalu diam-diam, aku sisihkan uang gajiku untuk melunasinya. Aku ini bukan ayahmu, aku ini kekasihmu.

“Kok diam sih? Kamu apa kabar?” 

Dalam diam yang cukup lama, kau menyentak dengan menanyakan kabarku? Pantaskah jika aku menjawab, “Aku lebih baik sekarang.” Bukankah kau akan semakin kecewa, melihatku lebih bahagia menjadi seperti sekarang, daripada yang dulu ketika bersamamu. Karena memang aku merasakan ini kebahagian, menjadi diri sendiri. Bukan kacung dari perempuan cantik yang ingin diperlakukan istimewa.

“Tapi kelihatannya kamu happy.”

Aku hanya mengangguk dengan senyuman balasan untuk perempuanku yang memang sangat istimewa ini. Dia berpindah tempat duduk, kini berjajar disisi kanan. Pelukannya kembali mendarat. Meminta kehangatan. Entah mengapa, aku tak bisa membalasnya dengan reaksi apapun. Aku hanya bisa diam dalam paku-paku yang telah tertancap dalam diri.

“Kamu masih sering fitness?” 

Sambil membetulkan rok mininya, dia mencoba menjelajah dengan pertanyaan-pertanyaan interogasi. Dan pertanyaan itu akan terus mengalir, hingga dia melemparkan pertanyaan, “Kamu begini gara-gara aku?” Bukan. Aku tak pernah berubah sebenarnya. Aku masih seperti yang dulu, sejak aku dilahirkan. Tak ada yang memahami tentang aku, dalam ruang yang sebenarnya, itu saja. Termasuk kekasihku yang selalu ingin dimengerti. Tapi aku tak perlu menjawabnya. Karena kau sekarang bukanlah bagian dari kehidupanku. Kau sudah menjadi kekasih orang lain. Lelaki yang usianya dibawahku empat tahun, yang dulu tidur sekamar denganku. Lelaki kecil yang selalu minta diajari menyeleseikan tugas Matematika dan Biologi. Lelaki yang dilahirkan dari rahim yang sama, dan disusui oleh seorang Bunda. Mama. Lelaki itu adikku. Filan.

Sudah lama aku tak menjumpainya. Sejak meninggalkan Madiun, karena mendapat kerjaan bagus di Bali, lalu ikut teman ke Australia, kerja part time di Resto-nya bule, dan menjadi Personal Trainer di Club milik teman. Dan semunya menjadi indah. Minimal bagiku, tapi bencana menurut Bunda dan Filan. Karena aku seorang kakak, yang harusnya mengajarkan kebaikan kepada adikku, dan menjadi kepala keluarga sejak Ayah meninggal. Namun hidup tak semudah yang dikatakan oleh pakar kehidupan, tak seperti yang dibilang guru kita. Hidup yang aku pilih teramat sulit untuk diterima keluarga dan teman-teman, apalagi kekasih seperti perempuan disisiku ini.

“Aku tetap sayang kamu.” 

Buat apa, buat apa? Karena aku tak butuh disayangi. Aku hanya ingin diterima dengan baik, tanpa disisihkan. Meski hidup adalah kompetisi, perlombaan dalam meraih bahagia. aku bahagia, meski tanpa kamu. Aku lebih bahagia lagi, Filan yang selalu susah mendapatkan kekasih, akhirnya mendapatkanmu. Dan aku tak ingin merebut kebahagiaan adikku, hanya karena tahu tentang kau dan aku. Kita pernah tidur bersama.

“Kamu kapan balik ke Australi?” Kau bertanya untuk memastikan, apakah kita bisa bercinta lagi? Bahkan dalam genggaman tanganmu, handphone itu siap kau minta untuk memesankan kamar untuk kita malam ini. Kau kembali merayu, dan belaian itu datang lagi. Sentuhan lembut itu mendarat kemudian. Dan pelukan rindu beradu dalam ritme lambat di malam pertengahan bulan. Kau datang tanpa disengaja. Mengecup kening dan untaian kalimat manis. Karena kau tetap indah seperti dulu. Tak sedikit pun berubah. Ayumu memancar dari senyum lesung pipi. Rambutmu teruntai memanjang bukan hasil sambungan. Meski tanpa busana seksi, kaulah perempuan paling seksi malam ini. Namun aku tak mampu tergoda.

***

Malam ini begitu singkat untuk kita habiskan dalam pikiran yang penat, dan timbunan rindu yang tak lagi menguat. Kupikir kau masih menggairahkan, sama halnya ketika kita memesan kamar ini beberapa tahun silam. Kukira aku bisa menikmati orgasme yang kudambakan seperti dulu saat masih menjadi kekasihmu. Kupikir kau hanya berpura-pura menjadi lelaki guy karena ingin berlari dari perempuan kejam seperti aku.

Tidak. Kau tidak bisa lagi membuatku orgasme, kau bukan berpura-pura. Kau hanya membantuku bercinta dengan tanganku sendiri. Terimakasih sayang, kau selamanya hanya bisa menjadi pembantu dalam asmaraku.

--Wanda--

Comments