Tak bisa disangkal jika kamar kost adalah rumah terbaik yang
pernah dimiliki hampir setiap mahasiswa yang tak serumah dengan orang tua.
Kamar kost memberikan banyak nilai dalam kehidupan. Menyisakan banyak kenangan
dalam perjalanan mencari jati diri. Dan lebih banyak berkontribusi dalam
menemukan seks remaja.
Kamar kost yang luasnya hampir mirip ruang tamu di rumah
orang tua, menjadi sangat nyaman, padahal disitu diletakkan banyak sekali
perabot yang saling berhimpit, dan menyesaki ruang sempit. Almari lipat sengaja
dipilih karena lebih praktis dan tak menyita ruang. Kasur busa juga demikian,
bisa dilipat dan disimpan jika terpaksa kedatangan banyak tamu di kamar kost.
Pemilik kamar kost harus menjadi arsitek handal yang bisa merubah kamar kost
yang privacy menjadi ruang santai bersama teman-teman. Komputer, kipas angin,
mejic jer, mini sound system, semuanya dipaksakan masuk kedalam kamar kost.
Kamar kost bagi saya, malahan sebagai rumah penampungan yang
terpaksa dipilih ketika rumah tak lagi memberi ruang kenyamanan. Adakah rumah
yang tak nyaman? Ada. Rumah saya. Setelah saya dimanjakan selama sembilan belas
tahun, rumah yang dulunya sangat hangat berubah menjadi ruang pengap. Rumah
yang tak mengijinkan asap rokok berkeliaran di ruang tamu. Rumah yang mengharamkan
seks didalam kamar. Rumah yang tak membiarkan anak perempuannya sekolah menuju
jenjang kuliah.
Malam itu, Bapak saya marah mengetahui anak perempuannya
memilih kuliah ketimbang bekerja. “Kuliah itu mahal nak, kau sudah banyak
menghabiskan uang Bapak dan Ibu” kata Bapak di meja tamu yang akhirnya tak
pernah saya jumpai setelah malam itu. Saya memilih untuk pergi dan
memperjuangkan kuliah, daripada hanya beekrja dan mengikuti perintah Bapak.
Daripada harus menjadi perempuan yang hanya tamatan SMA, lebih baik saya hidup
diluar bersama ilmu yang menurut saya benar dan perlu dikejar.
Lima tahun saya habiskan hidup dalam kamar kost yang penuh
dengan kerinduan, dilapisi kesombongan ingin menjadi mahasiswi supaya sama
dengan teman-teman lainnya. Pada waktu yang lama itu, kehidupan bukan
mengajarkan nilai moral mahasiswi berpendidikan, tetapi memperjuangkan ke-egoisan.
Pada tahun yang dinanti, semua orang tua mahasiswa berkumpul
di balai kampus dalam sebuah acara pertemuan, menyaksikan anaknya dinobatkan
menjadi lulusan perguruan tinggi. Bapak saya tak ada dibarisan itu. Bapak tak
layak tahu, saya duduk dibarisan paling depan urutan ketiga, penyandang
cumlaude.
Ilmu yang saya kejar tak mengajarkan saya pada tata krama,
justru menjerumuskan saya pada kesombongan. Maafkan saya bapak, tak
menempatkanmu dalam barisan orang tua hebat!
Kini, kamar kost menjadi sepi, bukan lagi rumah indah, bukan
juga rumah penampungan yang menyisakan banyak keindahan. Kamar kost adalah
saksi nyata kesombongan mahasiswi yang tak patuh kepada Bapaknya.
Comments