Hanafi. Aku tak tahu
bagaimana menceritakan tentangmu. Hanafi. Kamu seperti lelaki yang tak perlu
digoda, tapi kau menggodaku.
Hanafi. Kau suka
berselingkuh, itu katamu. Hanafi. Kau selalu diam, tak banyak bicara, tapi
auramu kemana-mana bahkan ketika kau hanya mengenakan kaos merah tanpa
kerah.
Hanafi. Aku terpukau untuk
pertama kali ketika bertemu denganmu. Hanafi, kau pandai menggambarkan cinta
dalam guyonan.
Hanafi. Lelaki lima
belas tahun lebih tua dariku yang tak bisa lepas dari pandangan. Hanafi. Kau
menggairahkan.
Hanafi. Aku terpikat
oleh gerak tubuhmu, padahal kau tak pandai menari. Hanafi. Aku ingin
menciummu.
Hanafi. Kau indah namun
beristri. Hanafi. Kau sentuh jemariku untuk pertama kali, dan aku ingin lagi.
Hanafi. Aku keracunan tatapanmu.
Hanafi. Kau datang
sekelibat, lalu tersemat. Hanafi. Kita belum saling kenal, tapi kita jatuh
cinta.
Setahun setelah kutulis puisi tentang Hanafi, aku coba-coba
menghubunginya melalui chat. Hanya ingin tahu kabarnya, Sembilan puluh Sembilan
persen nya adalah kerinduan. Rindu dengan rambutnya yang dikucir acak-acakan.
Rindu dengan wajahnya yang tak pernah bersih dari cipratan tinta. Rindu dengan
becandanya yang selalu buat aku harus mikir dulu untuk tertawa. Kenapa seorang
Hanafi tak pernah habis untuk aku pikirkan?
Sehari aku menunggu balasan chat nya, taka da juga. Tak dibaca.
Tak dibalas. Seharusnya aku meneleponnya? Sudah. Semua teleponku tak pernah
mendapatkan jawaban dari Hanafi.
Apakah aku langsung pergi saja ke Yogya untuk mencari Hanafi?
“Halo Hanafi, ini Nda.
Sibuk ya? Gimana kabarnya?” chat ini sejak seminggu tak mendapatkan balasan. Aku chat lagi.
“Ping” Aku galau mau menulis
chat seperti apa untuk Hanafi, hanya ‘PING’ yang terlintas, kata yang tak punya
arti apa-apa. Seperti aku ya, Hanafi. Barangkali tak semua lelaki yang aku
inginkan bisa aku dapatkan, seperti dirimu Hanafi. Kau lebih mencintai istrimu
yang setia, atau memang kau belum tahu kalau aku terpikat pesonamu? Jika kau
tahu, apakah mungkin kau berpaling dari istrimu, demi aku Hanafi?
Aku tak sabar menunggu balasan chat dari Hanafi. Aku meneleponnya.
“Hai Nda? Tumben kamu
telpon saya?”
“Han, aku kirim chat,
kamu tak membalasnya”
“Nomer whatsapp ganti
Nda. Lagi dimana nih? Main ke Yogya sini, aku mau ada pameran lukisan”
“Ohya? Kapan?”
Lagi-lagi aku selalu menanti Hanafi. Tapi kamu bersedia menantinya.
Tak bisa kulupakan bagaimana caramu tersenyum, ekspresimu saat ingin tahu
sesuatu, wajah kesal mu saat ada perubahan konsep gambar, sementara setengah
kerjaan sudah kau selesaikan. Waktu yang mengikat aku dan Hanafi dalam
pengerjaan Mural Kota, menorehkan banyak kisah. Aku tak menduga akan jatuh
cinta, pada Hanafi.
Dia datang. Hanafi menghampiri ke tempat aku menunggu dia. Hanafi duduk
tepat didepanku, aku bisa sangat jelas melihat Hanafi menjadi semakin tua, ada keriput
di sekitar mata dan tepian bibirnya. Rambutnya masih gondrong dan diikat. Disela
rambutnya yang hitam mulai tercampur uban. Tapi kamu masih sama, Hanafi yang
aku kagumi, aku cintai dan ingin aku miliki.
“Aku dah tua Nda”
“Oh, sama Han, aku juga
makin tua”
“Tapi kamu makin cantik
kalau tua”
Hanafi, meski usia mu sudah lima puluh tahun, namun aura lelaki mu
dengan mudah aku tangkap. Hanya dengan memandangimu, aku bisa temukan samudera
nafsu yang dalam dan luas, dan aku ingin tenggelam disana.
Hanafi, kau harus tahu bahwa ada perempuan yang tergila-gila
denganmu, yang ingin sekali saja merasakan sentuhan dalam pelukanmu. Seharusnya
kamu tahu, aku ke Yogya bukan soal pameran lukisan. Aku datang untuk sebuah
ciuman Hanafi.
Comments