HANYUT DALAM CIKOTOK


Aku bukan Kuda sempurna yang memiliki kaki-kaki kuat dan kokoh. Aku hanya kuda kecil yang ingin menjadi pemberani. Tidak mau ditemani, tidak ingin dibilang kuda kandang. Meski secara fisik aku terlihat seperti kuda betina yang siap dimangsa binatang buas lainnya, namun aku sudah dilatih bapak kuda caranya bertarung.

“Jangan mati terbunuh, kamu harus menjadi pembunuh”

Bapak kuda selalu mengajari aku tentang bertahan hidup. Tidak ada yang akan menyelamatkan selain diriku sendiri. Tidak ada pahlawan dalam kisah hidup ini. Tidak ada baik dan buruk, semua yang kita lakukan adalah bertahan diri.

“Apa yang kamu takutkan nak?”

Aku takurt sendiri. Aku takut gelap. Aku takut sepi. Aku takut pada semua hal yang hari ini aku lakukan. Aku tak mungkin akan selamanya hidup dalam ketakutan, karena aku ingin menjadi Kuda pemberani.

“Kuda pemberani tak pernah takut berjalan sendiri, meskipun gelap diujung matanya, karena Kuda pemberani melihat dengan hatinya. Menyentuh tanah, udara, dan pohon untuk menemaninya.”

Temanku alam semesta ya pak?

“Itulah teman terbaik yang akan membimbingmu dalam perjalanan sunyi, nak”

Malam itu tiba saatnya aku harus menyapa alam semesta, teman keabadian yang tak pernah mendustaiku. Gelap di ujung mata, lampu kendaraan hanya menerangi sejauh dua meter. Daun telinga terbuka lebar menangkap irama dedaunan yang saling bergesekan dimainkan angin. Air hujan turun rintik dan kerap. Dalam kuyup aku berjalan kaki mendorong kendaraan dan menyisir jalanan di desa Cikotok, di lereng Gunung Halimun Salak.

Comments