Tanah Jawa seperti ibu yang penuh kesabaran, menabur kasih kepada semua anaknya, memberikan cinta tanpa diminta, membagi kemakmuran pada setiap petak tanah yang diinjak. Ibu yang terus mendoakan keselamatan dan kedamaian untuk anaknya, meski kadang ibu juga sedih pada saat musibah menimpa sang anak.
Ibu
hanya bisa berdoa.
Anak-anak
ibu selalu bergandengan tangan, yang satu menjabat tangan satunya, dan lainnya
menjabat tangan sebelahnya. Jika anak satunya terkena musibah, anak sebelahnya
juga merasakan dampaknya, karena anak-anak ibu saling bersentuhan, menyambung
berjajaran dalam untaian pulau Jawa.
“Ibu,
bagaimana dengan kami yang berada paling ujung?”
Suatu
pagi, anak Banten berseru kepada ibu. Banten yang tak pernah menjabat tangan
Banguwangi, begitu pula sebaliknya.
“Kami
terpisah ribuan tahun dan tak pernah bertemu ibu”
Anak
Banten hanya bisa mendengar kabar anak Banyuwangi melalui seruan angin yang
hanyut berhari-hari dalam nyanyian alam semesta. Merasakan sentuhan anak
Banyuwangi melalui gesekan bumi disalurkan oleh akar-akar pepohonan yang menancap
kuat pada tanah Jawa.
“Meskipun
kalian tak pernah bertemu, percayalah anak-anakku kalian adalah anak ibu yang
saling menguatkan, saling menjaga tanah Jawa untuk keselamatan seluruh manusia”
seruan ibu menggema dalam gendang telingaku saat aku melintasi sebuah desa di
Banten. Kulihat, beberapa gadis masih mengenakan mukena keluar berhamburan dari
langgar, dan menanyaiku, “Kakak mau ke Banyuwangi ya? Aku mau ikut kak…”
Kayuhan
kaki menjadi lambat, sejenak aku ikut merasakan kerinduan anak Banten pada
Banyuwangi.
Comments