ROBOT BERKOIN

 

Cerita ini tentang perempuan yang pernah kutiduri dan suaminya yang baik hati. Perempuan yang kukenal dari pertemuan singkat dalam kamar-kamar yang disekat dengan kelambu cokelat. Dalam sebuah panti pijat di sekitar rumah sakit ketika perempuan lain sedang dalam keadaan sekarat. Perempuan lain yang tak lain adalah istriku, teman tidur selama hampir tiga belas tahun. Divonis kanker rahim dan kista menjalar diseluruh vagina.

Dia, perempuan lain yang meminta suaminya untuk menyewa perempuan berbayar untuk memenuhi malam-malam menjelang kepergiannya. Meski tanpa dia meminta, aku sudah sering melakukannya, dikala dia pergi cek up ke luar kota. Mulai dari teman kerja di kantor, hingga purel sewaan datang silih berganti menemani tidur, dan tak jarang mereka memberiku bonus, sepiring nasi goreng dan teh hangat tersaji di meja makan keesokan paginya. Mereka robot dalam kisah percintaan semalam.

Salah satunya Wanda, perempuan berbayar yang sama robotnya. Robot yang satu ini bukan terdiri dari besi baja yang harus menelan koin untuk bekerja. Purel dengan paras ayu dan pantat sintal, rambut sebahu, aroma parfum menjeratku tak bisa lepas darinya. Dengan tariff separo, dia mau telanjang sewaktu-waktu. Purel yang bekerja dengan cinta, aku menyebutnya begitu. Telanjang dan bercinta itu barang mudah. Tapi kepintarannya menjerat hatiku, membuat aku tak lagi mengundang perempuan-perempuan lain untuk mau kutiduri. Bahkan dia memintaku untuk menikahinya.

“Istri kamu hampir koit bang, udah kawinin aku aja.”

Tak semudah itu memilih istri. Aku harus pacaran lima tahun untuk yakin melamar istriku. Harus benar-benar masih perawan untuk mendapatkan malam pertamanya, dan itu malam ke seratus sekian bagiku untuk melepas keperjakaan. Harus jelas keluarganya, strata sosialnya, dan tetek bengeknya. Dengan serangkaian syarat yang padat itupun aku masih mendapatkan barang busuk. Lihat saja vaginanya, sudah tak berfungsi lagi, aku saja jijik melihatnya.

“Kamu sudah lihat barangku kan? Bagus kan? Walau sudah banyak yang makek.”

Karena kamu memang purel. Sudah pasti mahir bagaimana merawat kewanitaan, karena disitu sumber keuangan, kamu makan dari memek. Andai aku bisa memahami dari dulu, perempuan tak harus perawan, tapi pintar menjaga kewanitaan. Seperti kamu, Wanda.


“Lalu apa lagi yang kamu tunggu bang?”

Aku menunggu hingga istriku benar-benar pergi. Dengan begitu aku tak lagi dianggap suami bajingan. Menikahi purel, sementara istrinya berbaring di rumah sakit. Keluarganya akan mengira aku tak berperasaan. Tapi sebenarnya, perasaanku sedang dipertaruhkan. Semua teman-teman kantor selalu mengatai, “hey jablay!”

“Yaudah, ayo bang.”

Tidak. Selama aku punya uang, aku bisa menidurimu, itu sudah cukup. Walau seringnya kau selalu menolak uangku. Karena yang kau minta adalah hati, cinta. Dia yang terbaring dengan muka pucat dan senyum berkarat, itulah cinta. Dia yang tak bisa apa-apa, yang hanya bilang “maaf mas” dialah cinta. Dia yang selalu meneteskan air mata ketika aku pamit untuk keluar sebentar, sekedar cari udara segar, dan ternyata dia tahu benar seperti apa suaminya yang berubah menjadi lelaki liar. Tapi tetap saja dia bilang, “maaf mas”. Bagaimana bisa aku menceraikan dia. Bagaimana perasaannya ketika menjadi perempuan yang tak berguna, sementara aku selalu membohonginya dengan kata-kata, “aku tak bisa meniduri perempuan lain, aku hanya cinta kamu”

“kamu bohongin istrimu berapa kali?”

Berkali-kali. Dan dia hanya bilang, “maaf mas”.

***
Jika bisa aku meminta pada Tuhan untuk menjadikan aku manusia sempurna, pasti kusempurnakan hidupmu. Membuatmu berhenti menjadi wanita liar, dan hanya menjadi milikku, bukan melayani lelaki manapun yang punya banyak koin. Karena sayang, aku tak memiliki koin sebanyak itu untuk menjadi bagian dalam hatimu. Aku hanya punya pengabdian. Menjadi selimutmu di malam yang tak ingin menoleransi. Menjadi senja yang mengantarmu pulang. Aku cukup, bisa menjadi suamimu.

Jika saja untuk berjalan kau tak perlu banyak koin, pernikahan ini akan semakin indah. Dan aku telah mempertaruhkan hati untuk berlapang menerima status sosialmu yang beberapa orang sudah mengetahuinya. Kau robot berkoin. Disewa kebanyakan lelaki untuk ditiduri. Tubuhmu tak hanya milikku. Bahkan hatimu, bukan terisi olehku juga.

Aku harus berpura-pura tak tahu tentang lelaki yang sering kau datangi diam-diam di rumah sakit itu. Lelaki yang menemani istrinya seharian, di sebuah kamar, terbaring sakit. Lelaki yang kau sebut Abang. Dia bukan abangmu. Dia lelaki yang pernah membayarmu untuk sementara menggantikan istrinya yang sedang sakit. Yang pernah kau kenalkan pada malam menjelang pernikahan kita. Dan kau meneteskan air mata, entah karena tak bisa menerimaku atau kau tak bisa mendapatkan cintanya. Kenyataannya, lelaki itulah yang memenangkan hatimu.

Maka tak salah, jika hari ini aku harus menemuinya. Memintanya meluangkan waktu untuk menerimaku sebagai lelaki pecundang. Disebuah panti pijat, disisi selatan rumah sakit, kudapati Abangmu sedang dalam kamar sekat bersama robot koin. Satu jam seperempat, akhirnya dia keluar dengan aura berbinar setelah mengecup kening perempuan sewaan yang hanya mengenakan baju terusan, panjang selutut, tanpa bra dan celana dalam. Dari sini aku mencium bau amis dan liur robot koin itu.

“Hartadi, dengan siapa disini?”

Sendirian bang, aku menunggu lebih dari satu jam. Aku diam-diam datang kesini, ingin bicara tentang perempuan. Karena perempuan ini, aku menjadi tak berguna, seperti lelaki hina yang ingin memakai robot namun aku tak memiliki koin. Karena status sebagai suami saja tak cukup melegakan hatinya untuk sekedar telanjang. Karena perempuan ini memiliki banyak janji dengan banyak lelaki yang dia sebut rekan kerja. Yang bisa membuatnya kaya.
“tidak sama Wanda?”

Tidak. Wanda tak boleh tahu tentang ini. Tentang perjumpaan kita dalam sebuah waktu disengaja.

***

Cerita ini tentang perempuan yang pernah kutiduri dan suaminya yang baik hati. Perempuan yang kukenal dari pertemuan singkat dalam kamar-kamar yang disekat dengan kelambu cokelat. Dalam sebuah panti pijat di sekitar rumah sakit ketika perempuan lain sedang dalam keadaan sekarat. Perempuan lain yang tak lain adalah istriku, teman tidur selama hampir tiga belas tahun. Divonis kanker rahim dan kista menjalar diseluruh vagina.

Hartadi, suami yang telah dinikahi perempuan yang pernah kutiduri. Usia pernikahannya baru satu bulan. Diam-diam, suaminya robot koin dating menemuiku, di suatu petang. Entah darimana dia tahu, aku sedang menghamburkan koin bersama robot-robot itu. Dari wajahnya, kulihat dia sedang pilu, sepertinya persoalan asmara. Dia itu, lelaki yang tergila-gila pada istrinya, robot koin-ku. Lelaki yang ingin membahagiakan istrinya, namun tak tahu bagaimana caranya. Karena dia teramat muda untuk memuaskan perempuan seperti Wanda.

“tapi aku cinta dia sepenuh hati, masih kurang?”

Nak, kamu pikir rumah tangga hanya soal asmara. Kamu lupa membaca buku Kamasutra? Lupa menelan pil penguat? Atau kamu tak tahu alamat klinik mak Erot? Wanita bukan hanya soal uang atau pun cinta. Perempuan yang kau nikahi, adalah perempuan terhebat dalam bercinta. Perempuan luar biasa dengan teknik bercinta yang mempesona. Jangan kau bilang, tak beruntung menikahinya. Kaulah lelaki paling mujur yang pernah kutemui.

“jadi?”

Jadi apa? Pulanglah. Dia istrimu, meski juga robot koin-ku. Aku berjanji tak lagi memakainya, sejak malam kita berjumpa sebelum pernikahan kalian berlangsung. Koin-ku terlalu banyak untuk dihabiskan pada satu perempuan, istrimu.

***


“bang, si Har nemuin kamu ya bang? Mau apasih dia?”

Hartadi. Tak sengaja ketemu, didepan rumah sakit. Ketika aku mau beli bubur ayam pesanan istriku, Hartadi datang membawa makanan, katanya buat istriku. Kulihat, eh bubur ayam. Haha. Serba kebetulan ya. Sudah, itu saja.

“itu saja? lalu kenapa si Har rajin pergi ke panti pijat? Kau pengaruhi dia bang?”

Aku memang pasien tetap dip anti pijat. Aku memang menggilai setiap perempuan yang memiliki sepasang payudara dan vagina wangi. Kalau Hartadi menjadi seperti aku, itu pilihan dia. Bukan karena aku menyuruhnya. Karena dia memang ingin menjadi seperti aku. Dia mengikuti kemana aku pergi, bahkan membawakan makanan untuk istriku. Dia ingin menjadi aku, seorang Prasetyo yang digilai perempuan seperti kau.

“tapi penis dia kecil, mana mungkin dia bisa jadi seperti abang?”

Itulah sebabnya dia ingin menjadi aku, ingin memiliki penis seperti penisku. Hartadi, sebaik-baiknya lelaki yang menjadi gila sejak menjadi suamimu, Wanda.

~ dan angin menerbangkan debu, dalam kebebasan langit dan cerita senja. Sepasang suami istri duduk di teras, saling diam. Ditangan mereka tergenggam gadget dengan jendela pesan terbuka, dan barisan kata singkat tertulis dilayar lalu tombol send disentuh, “maaf mas.”

Comments