RIUH PANGGANG


Seharusnya aku tidak kesana tengah malam. Seharusnya aku tak mengganggu para warga hutan jati di Panggang. Sebelum malam itu terjadi, aku sudah pernah berjalan sendirian dalam sunyi nya hutan jati Panggang di siang hari. Bukan tengah malam, tapi siang hari. Dan yang kurasakan memang penolakan dari warga. Selepas dari wilayah Panggang, aku bersumpah tidak akan pernah ke sana pada tengah malam.

Namun, takdir meminta apa yang tidak aku inginkan. Hidup selalu memberi pilihan yang tidak pernah ingin aku pilih. Memberi jalan yang aku tidak mau lalui.

“Harus banget ini aku naik Panggang jam satu malam?”

Aku mengayuh kendaraan menuju Imogiri dengan seribu umpatan, kenapa harus malam ini? Jika aku tunda besok pagi bagaimana?

“Tidak bisa, aku pasti akan semakin tertinggal Kuda yang lain, sekarang mereka sudah bergerak menuju Pacitan, sementara aku masih akan naik Panggang!”

Baiklah, aku harus menerjang para warga hutan jati Panggang dengan keberanian penuh. Aku sudah membayangkan rupa rupa warga, mungkin nenek-nenek, bisa jadi kuntilanak, atau jangan-jangan genderuwo?

Dalam kayuhan pelan aku terus berpikir hal-hal apa yang akan menimpaku dalam kesunyian hutan jati Panggang? Sudah terima saja, paling kaget sedikit. Teriak sekencang-kencangnya juga tidak apa.

Dalam sekian detik, aku tertidur, rupanya aku sedang bermimpi berada di hutan jati Panggang. Aku terbangun dan yang kulihat adalah jalanan aspal membelah rumah-rumah penduduk. Tak jauh di sisi kiri ada Angkringan (warung kopi tradisional khas Bantul, Jawa Tengah). Aku harus tersadar, aku tak boleh ngantuk bahkan bermimpi.

“Kopi ne wonten mas?”

Mas penjaga angkringan terbangun, lalu beranjak menyalakan kompor, membuatkan aku secangkir kopi. Dia terheran melihatku tengah malam dengan kendaraan sepeda kayuh.

“Badhe teng pundhi mbak?” tanya mas angkringan sambil mengaduk kopi buat aku

“Ke Wonosari mas, lewat Imogiri”  

“Hluk, lewat Panggang mbak?” mas angkringan kaget dan sedikit tidak percaya aku akan melewati jalan tersebut.

“Nggih mas, nguber waktu mas”

Tak lama kemudian warga lokal menghampiri, ikut terlibat dalam percakapan antara aku dan mas angkringan. Warga lokal memberi gambaran suasana perjalanan malam hari di Imogiri – Panggang.

“Dari sini sampai sini nanjak terus, sampai disini mbak… ini sudah landai, tidak nanjak. Setelah itu naik turun dari desa ke desa, sampai menuju Playen.” Warga lokal menjelaskan sambil menunjuk peta digital yang kusodorkan.

Kopi sudah habis, mata sudah terbuka dan kaki siap mengayuh menuju perjalanan yang tak kuinginkan di tengah malam. Tak jauh, tanjakan sudah mulai terlihat. Kuda Betina yang lemah ini jelas tak mampu menyelesaikannya tanpa mendorong kendaraan. Perlahan, selangkah demi selangkah pasti akan menambah kilometer menuju seribu lima ratus.

Aku berhenti sebentar, nafasku kejar-kejaran. Keringat mengalir dari akar rambut mengalir ke leher dan membasahi tubuh. Perjalanan ini masih panjang. Setiap ketemu jalan landai, aku langsung terbaring entah di bangku kayu, bahkan di aspal.

Kuda Betina kelelahan, tapi tidak punya alasan untuk menyerah.

Tanjakan demi tanjakan aku makan perlahan, tak kusisakan untuk esok pagi. Disaat Kuda lainnya tertidur lelap, aku menyusuri malam yang tak memberikan kepastian supaya hatiku tenang.

Hati gusar segusar gusarnya, menyaksikan gelap tak bertepi. Tubuh ingin tidur tapi otak menolak. Keberanian dibakar terus menerus supaya tetap menbara, karena saat pagi tiba, aku harus sudah keluar dari hutan jati Panggang ini.

Warga Panggang sudah menampakkan wujudnya. Menyerupai anak-anak sedang lari kejar-kejaran. Saat aku melintas area bermain mereka, rupanya mereka sangat senang. Dia kira aku ikut bermain dengan mereka, “kejar-kejaran”. Aku menyebut mereka seperti tuyul, karena aku pernah melihatnya dalam film casper.

Warga Panggang tidak menggangguku, perasaanku saja yang sensitif merasa tidak nyaman. Riuh dalam hatiku yang mengganggu ketenangan perjalananku melintasi Panggang.

Comments