ALAM MENYAPA


Air mata yang sudah berkumpul di kantung lakrimal tak bisa dibendung. Mereka ingin meluap meski aku menahannya untuk tetap bertahan. Tak bisa ditahan. Mereka mau tumpah, entah karena kantungnya terlalu kecil atau air mata puluhan tahun tertahan disitu.

Sama hal nya dengan ragaku yang tertahan di Lumajang. Aku terpaku diatas saung bambu. Kupandangi lelaki yang duduk disana. Kemudian aku menengok ke saung sebelah kiri, ada seorang lelaki paruh baya, seorang bapak-bapak tapi usianya lebih muda dari bapakku.

Aku tak mampu membedakan antara nyata dan fana. Setelah aku melihat pohon-pohon jati berjalan sendiri, seakan mengejekku yang berjalan sendiri menuruni Hutan Bruno. Kedua lelaki yang ada disini, apakah mereka nyata? Apakah mereka sama seperti pohon jati?

“Ada apa mbak?” bapak sisi kiri menyapaku.

“Mmm… pak, ini daerah mana ya?” Aku malah bertanya balik padanya dengan kebingungan yang menimpaku.

“Senduro mbak, sampean mau kemana?” bapak itu semakin penasaran melihat aku yang kebingungan. Aku sedang mencari jalan keluar dari kekacauan pikiranku. Aku lupa dimana pintu exit. Aku harus lekas keluar dari semua khayalan yang menyerbu otak.

“Ini Lumajang ya pak? Saya mau ke Banyuwangi”

“Ini Senduro mbak, Lumajang masih jauh…” bapak yang duduk di saung sebelah kiri terlihat mulai menyerah dan tak ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi padaku. Lelaki di saung depanku ikut mencuri pandang, lalu dia menoleh ke arah lain, saat mataku memaku matanya.

Aku hanya mengingat satu nama yang bisa aku percaya. Aku harus menghubungi dia, untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Hei, kenapa?”

“Aku lagi bingung…” Aku tak tahu apa yang terjadi. Aku baru saja melihat Pohon Jati berjalan, lalu aku lupa dimana aku sekarang berada? Dan aku mulai rindu rumah. Ternyata aku sedang tidak di rumah. Aku ingin pulang, tapi aku bingung harus kemana?

Semua tanya terlontar dengan gemetar. Dia disana mendengarkan ocehanku dengan sabar.

“Kamu harus tenang. Tarik nafas dalam, lalu keluarkan. Ulangi sampai kamu merasakan nyaman.”

“Oke.” Aku melakukan apa yang dia katakan. Aku percaya dia yang bisa membuatku merasa tenang. Dia paling tahu tentamg diriku dan semua kekacauan yang sering hadir dalam pikiran.

“Sudah tenang?”

“Iya, sudah lebih baik.” jawabku di telepon.

Malam mulai menjemput, aku putuskan untuk tidur dalam kamar hotel. Tidak ada lagi berjalan di tengah malam sunyi yang menjanjikan ketenangan. Aku harus tidur terlelap untuk menyeimbangkan pikiran. Tubuh Kuda Betina memang lelah, tapi masih kuat berjalan. Namun hati dan pikiran tak sejalan, saling kejar-kejaran, itulah yang membuatku kelelahan. Ternyata benar yang dia ucapkan, “Alam memberikan apa yang kamu inginkan.”

Apa yang sebenarnya aku inginkan?

Rutinitas yang mendikte hidupku sejak pagi hingga petang. Kopi yang selalu datang setiap jam tujuh pagi, sepuluh siang, satu siang, tiga sore, tujuh malam, dan sebelum tidur. Angka-angka dalam layar monitor yang selalu mencambuk mata lelahku menuju penuaan. Dan nyeri leher yang selalu datang menjelang tidur.

Itulah alasanku kenapa aku melakukan perjalanan seorang diri. Melintasi bentangan pulau Jawa sisi selatan. Dengan berjalan pelan, aku mulai berkenalan dengan seluruh penghuninya. Semua yang melekat pada bumi ini. Mengosongkan pikiran dari rutinitas dan gangguan duniawi. Menyerap seluruh energi alam semesta dengan tangan terbuka.

Ternyata dia benar. Alam semesta telah menyambut kedatanganku. Menjawab seluruh raguku terhadapnya. Angin bisa meniup. Daun bisa mendengar. Pohon bisa memeluk. Para leluhur menyapaku dengan senyuman tulus. Pohon Jati menari merayakan kedatanganku dalam dunia mereka. Alam semesta tidak diam, mereka hidup dalam gelombang sisi lain dunia ini.

Comments