Aku sudah tahu, perjalanan seperti apa yang akan aku lalui di depan nanti. Aku pun sadar, aku Kuda Betina yang lemah dan tak punya kekuatan seperti kuda kuda lainnya. Entah saat ini aku berada di kilometer berapa dalam peta pacuan? Aku menjauhkan diri dari interaksi sosial melalui teknologi telekomunikasi. Aku hanya sebentar membuka pesan whatsapp. Karena yang aku butuhkan saat ini adalah mengenal alam sekitar.
Pandanganku
tak lepas dari garis merah muda pada cyclocomp
– alat pemandu perjalanan – karena aku tak ingin tersesat atau salah jalan. Aku
sering dibuat cemas dan deg-degan oleh warna warni seperti bar yang dibaca sebagai
penanda kemiringan jalan. Semakin miring, semakin menghabiskan waktu untuk
melaluinya. s
Terik
matahari terus mengikuti perjalananku. Aku berjalan, dia ikut berjalan. Aku berhenti,
dia pun ikut berhenti. Sementara batu batu besar di kanan kiri jalan tak
berperan sedikit pun untuk melindungiku dari sengatan panas matahari. Aku perhatikan
wajah bebatuan itu, dia menjulang tinggi, tapi tak terlihat dimana dia
sembunyikan bayangannya? Lalu disebelahnya bebatuan ada pohon tinggi tapi
kurus. Rantingnya kering tak memilik banyak daun. Semua berdiri pada kakinya
masing-masing dengan keangkuhan.
Aku
bersandar pada pagar besi di sisi kiri jalan. Kutarik nafas dalam, lalu lepas. Dalam
diam aku bertanya, “kenapa disini panas sekali?”
Sementara
kemarin aku baru saja merasakan dingin disiram hujan dalam dua malam
berturut-turut. “Apa boleh aku minta hari ini tidak panas, ya Allah?”
Aku
berharap mendung datang padaku, dikirim untuk memayungi perjalanan Kuda Betina
yang lemah ini. Langit cerah tak mengirim kode akan datangnya teduh. Rupanya mendung
tidak mau datang. Keringat mengalir deras seperti keran yang dibuka lebar, airnya
membasahi bajuku yang sudah empat hari tidak diganti. Bau keringat bercampur debu
yang membawa aroma sunyi perjalanan sisi selatan pulau Jawa, berkumpul menjadi
satu mendekap erat tubuhku. Hingga aku lupa seperti apa bau wangi vanila? Indera
penghirupku hanya mengingat aroma perjalanan sunyi ini.
Kekosongan
menyelimuti setiap langkah. Aku menghibur diri, berbincang dengan apa saja yang
aku lihat. Percakapan ini memang satu arah, tapi aku tak merasakan demikian. Kami
sedang berdialog. Aku memang tidak mendengar suaranya, namun aku mengerti apa yang
dia sampaikan. Dia tidak menuliskan pesan dalam selembar kertas, namun aku bisa
membaca makna dari kehadirannya. Dia mengirim pesan yang diantar langsung menuju
rumah hatiku. Dicerna oleh perasaan, diterjemahkan ke seluruh panca indera.
Wuzzz…
Angin
datang dari belakang sisi kanan. Dia menari mendekat, meniupkan kesejukan di
sekitar leher, wajah, mata, dan hati. Aku bangkit dari sandaran pagar besi di
sisi kiri jalan. Lamunanku tersapu oleh angin yang telah membisikkan kesejukan ditengah
teriknya Pracimantoro.
Comments