“Sebentar lagi sampai.” Degup jantungku berlari kencang. Sementara kaki sudah mulai gemetar menahan beban tubuh dan sepeda kayuh. Beban yang dipikul kaki Kuda Betina terlalu berat. Ditambah kabut membuat hati ikut kalut. Aku menjadi cemas. Pikiran buruk menyerang memenuhi isi kepala.
“Jangan
sampai aku mengalami kejadian tiga tahun lalu.” Aku pernah dikepung hujan badai
di perjalanan menuju Ranu Pane, enam kilometer dari Puncak Jemplang. Sekarang
sudah jam dua belas siang, namun terik matahari tersingkir oleh awan tebal yang
gelap. Tadinya kulihat kabut tebal, kemudian awan gelap. Lalu perlahan rintik
hujan turun. Beberapa orang yang melintas dari atas sudah mengenakan jas hujan.
“Pak,
diatas hujan ya?” tanyaku pada pengemudi yang berhenti di seberang jalan.
“Iya mbak,
gerimis.”
Hukuman
dari Puncak Jemplang untuk para Kuda datang bertubi-tubi. Jika aku diberi
hukuman hujan di Puncak Jemplang, sudah pasti aku tak bisa melanjutkan
perjalanan menuju Ranu Pane saat ini juga. Aku harus bermalam di rumah warga.
Aku tak mau mengulangi peristiwa Gantasan.
Tahun lalu
aku mengira gunung adalah keindahan semata. Tak ada bahaya, tanpa ancaman. Tapi
yang terjadi justru sebaliknya. Aku merasakan mendekati kematian dalam dingin. Dari
rasa dingin yang menusuk tulang, hingga panas di seluruh lapisan kulit. Membeku.
Indera peraba mati rasa. “Apa aku akan mati kedinginan disini?” Tidak! Aku tak
boleh mudah mati.
Pikiran kacau
disulut oleh trauma di masa lalu. Aku ingin segera sampai di Puncak Jemplang,
tapi tubuh ini meminta istirahat. Kulihat jalan masih meliuk naik, berbelok,
naik lagi, lalu belok lagi. “Kapan sampainya ini?”
Aku hafal
betul tikungan menuju Puncak Jemplang. Kaca cembung jalan yang dipenuhi
stiker-stiker bentuk vandalisme dari manusia yang tidak bertanggung jawab,
adalah penanda berakhirnya hukuman dari Puncak Jemplang. “Pasti di depan sudah
ada kaca cembung jalannya.”
Tidak ada
kaca cembung jalan. Aku berhenti terdiam, menarik nafas, lalu kusandarkan
tubuhku bertumpuk dengan sepeda kayuh pada irisan tanah yang ditumbuhi tanaman
liar. Aku bisa merasakan basah embun yang menempel pada daun-daun itu ikut
membasahi tubuhku.
“Daun, apa
benar kau bisa mendengar?” Daun itu diam. Dia tidak bersuara.
Comments