PELUKAN POHON NGADAS


Aku sudah lupa kapan terakhir kali tubuhku dipeluk. Sudah lama aku terabaikan. Tubuh ini dituduh memiliki kekuatan karena tak pernah tumbang. Dianggap terbuat dari besi karena tahan dari segala pukulan. Dihantam bertubi-tubi oleh kenyataan. Dibiarkan hampa karena tak pernah dihampiri. Rumah yang dihuni oleh jiwa penyendiri tanpa tamu yang sudi datang meski hanya sebentar.

Aku menghentikan perjalanan yang diselimuti gelap dan dingin. Dari jarak lima ratus meter, aku lihat lampu menyala terang memancar dari minimarket. Kursi besi di teras itu memanggilku untuk bersandar. Hawa dingin Tumpang menahanku untuk tidak meneruskan berjalan. Aku menggigil, padahal ini belum di titik tertingginya. “Kenapa Malang dingin banget sih?” Aku mencari alasan untuk meyakinkan diri bahwa tidur sebentar di kursi besi minimarket adalah keputusan yang benar.

Jam tiga pagi. Dinginnya semakin menjadi. Dua kursi besi aku tata berhadapan. Aku luruskan kaki dan bersiap untuk tidur. “Selamat tidur sep.”

“Iya” kujawab pertanyaanku sendiri. Tidak perlu heran, ini sudah kulakukan sepanjang ribuan kilometer sejak aku dilepaskan di Carita, Banten. Bertanya pada diri sendiri. Menjawabnya dengan segera. Terus begitu berulang-ulang. Untuk menjaga kewarasan fungsi otak dan mulut.

Aku masih terus membayangkan, seperti apa rasanya dipeluk pada saat dingin menghadang. Bagaimana caranya aku memeluk diriku sendiri, seperti halnya aku menjawab pertanyaanku sendiri. Aku sudah terbiasa memberikan semangat pada jiwaku disaat kegelisahan menyelimuti. Aku pun pernah menasehati diri disaat kecerobohan telah terjadi. Tapi mengapa aku tak bisa memeluk diriku sendiri?

Lalu, pada siapa aku harus meminta pelukan?

Perjalanan menuju titik tertinggi dalam jajaran rute sisi selatan pulau Jawa dimenangkan oleh Puncak Jemplang. Jaraknya tidak panjang, hanya dua puluh empat kilometer dari Tumpang, tempat aku berhenti sekarang. Namun perjalanan itu meminta tebusan yang tidak murah. Kuda betina yang lemah sepertiku harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan kilometernya.

Lekukan tubuh jalan meliuk memabukkan diri. Jemplang selalu menghukum para Kuda dengan rintangan berat. Menggoyahkan hati nurani untuk bertahan pada kejujuran. Merayu para Kuda untuk menyerah saja. Hanya kuda yang jujur, yang mampu menjaga iman untuk terus melangkah meski perlahan.

Intro pagi sudah menyapa. Setelah tubuh terbaring di kerasnya kursi besi, kini saatnya melanjutkan perjalanan dua puluh empat kilometer. “Aku bisa menyelesaikannya.” Jiwa meyakinkan raga yang baru terbangun dari dinginnya Tumpang. Terus melangkah, berhenti sebentar, lalu berjalan lagi. Keringat mengalir, lalu menguap terkena hembusan angin Bromo.

Meskipun ini perjalanan terberat, namun jiwaku terpanggil untuk memenuhi janji Bromo yang menawarkan ketenangan, menguji kesetiaan untuk menikmati setapak demi setapak menuju puncak Jemplang.

Langkah Kuda Betina menjadi hilang arah. Perjalanan tersisa enam kilometer. Aku harus lebih cepat, sebelum kabut menutup pandangan. Tapi raga tak mau digerakkan. Jiwaku meraba-raba dimana letak tombol semangat. Dia menghilang. “Aku lelah, ayo kita istirahat” ajak raga pada jiwa. Keduanya sepakat untuk berhenti, bercakap cakap untuk saling menguatkan.

“Kita butuh pelukan” Ragaku sudah Lelah. Jiwaku menyerah. Satu-satunya yang bisa menghidupkan kembali jiwa dan raga yang sudah tumbang ini, adalah batang pohon itu. Pohon di Ngadas memanggilku. Kusandarkan kendaraan sepeda kayuh. Dalam pelukan Pohon Ngadas, jiwa dan raga kembali hidup. Dia membagikan energinya. Kita hanya lelah, bukan menyerah.

Comments