SADRAN TENGGER


Semua manusia akan mengalami kematian. Mereka yang telah pulang menuju kematian, adalah leluhur yang membutuhkan doa dari manusia supaya perjalanan pulang ke sang pencipta berjalan tanpa halangan.

Perjalananku menuju kilometer selanjutnya terhenti oleh kerumunan warga suku Tengger yang sedang mengadakan tradisi Nyadran. Para warga memenuhi jalan menuju arah pemakaman, dengan membawa makanan dan minuman untuk disajikan kepada leluhur.

Sajen. Ibuku pernah juga menyajikan makanan dan buah buahan di meja makan, ditata rapi diberi lilin. Secara diam-diam, aku mengambil buah jeruk dalam sajen itu. Ibuku marah.

“Itu untuk leluhur, bukan untuk kita makan. Hargai leluhurmu.”

Sejak saat itu, aku tak lagi mencuri makanan leluhur. Selanjutnya tertanam dalam ingatanku, bahwa di dalam rumah kami, tidak hanya ada bapak, ibu, dan kakak, tapi juga ada leluhur. Mereka melengkapi arti keluarga.

Nyadran Suku Tengger ini seperti yang terjadi dirumahku. Makanan dan minuman yang disajikan di makam leluhur tak sedikit pun berkurang, karena leluhur tak menyentuh sajen yang diberikan warga. Mereka membiarkan makanan berada di pemakaman hingga membusuk kemudian ikut terkubur dalam tanah. Tidak menyentuh sajen, bukan berarti leluhur tidak menyukainya. Leluhur merasakan kebaikan manusia yang sudi bersedekah.

Aku terhenti cukup lama, menunggu warga selesai menjalankan ritual Nyadran. Butiran udara yang terisi air berjatuhan. Kabut mulai turun, jalan menjadi samar-samar terlihat. Semua nampak putih. Kendaraan Jeep yang turun dari puncak Jemplang berbaris rapi mencari jalan turun. Nyala lampu dari Jeep menembus tebalnya dinding kabut yang menyelimuti pandangan.

Jalan dipenuhi warga Tengger yang pulang dari makam. Mereka memakai busana adat, bersuka cita menunjukkan rasa syukur atas rejeki dan kemakmuran yang diberikan sang pencipta. Mereka tak melupakan leluhurnya. Mereka hidup berdampingan dengan leluhur.

Warga Tengger berjalan berlawan arah denganku. Mereka turun, aku naik. Kami saling menatap. Mereka menebar senyuman. Aku membalasnya dengan senyuman. Wajah-wajah itu tidak lagi menjadi asing. Aku melebur dalam suka cita yang mereka rasakan. Dari tempatku berdiri, bisa kurasakan sorak bahagia para leluhur yang menerima sajen.

Dan senyuman warga Tengger itu, telah menghapuskan lelahku setelah berjalan sendiri ribuan kilometer.

Comments