Apa yang paling aku benci dalam hidup? Sesuatu yang meninggalkan kesan tidak indah. Sesuatu yang sulit dilupakan meskipun berkali-kali aku mencoba untuk menghapusnya dari ingatan. Otakku selalu menyimpan memori yang menonjol dalam hidup yaitu jika bukan memori baik, pasti memori buruk. Memori yang tidak memiliki makna, akan hilang dalam hitungan hari.
Memori
buruk yang menghabiskan ruang kenangan seharunya segera aku bersihkan. Apalagi semakin
bertambah usia, ruang memori tidak semakin bertambah, malah semakin menyusut. Jika
saja ada tombol control, tombol A, dan tombol delete, pasti sudah aku lakukan sejak
dulu menekannya secara bersamaan. Hilang!
Jika
ada kesempatan menghapus memori buruk, yang aku hapus pertama yaitu memori bersama
Bapak.
Bapak
telah menciptakan karakter monster kecil dalam diriku. Dengan segala makian,
pukulan, tekanan sosial, aku tumbuh dalam kehidupan yang tidak nyaman sejak
usia dua belas tahun.
Aku
membenci keadaan, yang telah membuat Bapak menjadi monster besar, dan aku
menjadi monster kecil. Apakah kehidupan anugerah? Apakah kehidupan bisa dipilih
atau ditolak? Dalam kisah yang aku alami, kehidupan itu dibentuk. Pada tangan
siapa yang membentuknya, terjadilah kehidpuan tersebut, yang sering tidak
disukai oleh manusia sebagai pelaku kehidupan.
Kehidupanku
dibentuk oleh Bapak. Dia ingin aku menjadi manusia yang tidak lemah. Bapak mengajarkan
cara melihat manusia sebagai sebuah ancaman. Jangan mudah percaya pada orang
lain, karena semua manusia adalah penipu. Tidak ada yang menolong aku selain
diriku sendiri. Jika ada peran korban dan pelaku, jadilah pelaku dan jangan
pernah jadi korban dalam bentuk apapun.
“Bapak,
apakah aku harus mempercayai itu semua? Aku baru SMP, aku hanya ingin bisa
masuk dalam grup teman-temanku yang keren.”
Dua
puluh delapan tahun yang lalu, aku pernah mengetuk pintu rumah Tuhan, meminta-Nya
mendengar doaku, “Ya Allah, cabut nyawa Bapakku lebih cepat. Aku tidak ingin
dia ada di bumi ini”
Bapak
tidak banyak bicara. Dia mengajarkan dalam bentuk tindakan. Tidak ada diskusi
bahkan negosiasi. Sembilan tahun sejak SMP hingga lulus Kuliah, aku membenci
Bapak karena membentuk karakter monster kecil padaku. Aku terus menolak untuk
tidak mengikuti cara berpikirnya. Aku ingin menjalani kehidupanku sendiri. Tapi
kini, aku baru menyadari bahwa aku telah menjadi monster besar, lebih besar
dari Bapak. Karena badai kehidupan saat ini lebih besar dari badai yang pernah
Bapak ceritakan.
“Bapak,
ternyata aku perlu menjadi monster sepertimu. Untuk tetap kuat berdiri menghadapi
semua badai.” Bapak diam tak mau berbicara, tertidur nyenyak dalam tanah
kuburan.
Bapak,
aku sudah merasakan kehadiran manusia adalah sebuah ancaman. Akhirnya aku memutuskan
untuk tidak mudah percaya pada orang lain, karena semua manusia adalah penipu. Dan
memang benar, tidak ada yang menolong aku selain diriku sendiri. Semua yang
telah kau ajarkan tidak ada yang salah. Bapak, maafkan aku telah membencimu,
mendoakanmu supaya segera mati. Aku bodoh!
Setelah
pikiran dan pandangan dipermainkan oleh Pohon Jati yang menari di Alas Bruno
Senduro, aku benar-benar sulit membedakan antara yang nyata dan fana. Jiwa dan
raga memaksa untuk istirahat di kasur yang nyaman, bukan di bangku kayu pinggir
jalan yang menyiksa.
Aku
terbangun dari kasur yang lembut, kainnya dingin terpapar AC, tapi selimutnya
memberi kehangatan. Kedua kaki rasanya hampir lumpuh karena kelelahan setelah
mengayuh ribuan kilometer. Pantat yang lecet akhirnya bisa bernafas dan
merasakan sentuhan lembut seprei kasur hotel. Menginap di hotel memang
keputusan yang tepat. Bukan hanya raga yang lelah, tapi jiwa pun mulai
kehilangan arah.
Aku
tidur hanya lima jam, namun memoriku kembali pada dua puluh delapan tahun yang
lalu. Bapak telah hadir dalam benakku sebagai memori baik. Aku mencintaimu
Bapak, aku sudah berhenti membencimu. Kamu yang telah mencetak kepribadianku
hingga aku bisa berada di Lumajang seorang diri dalam perlombaan pacuan. Melawan
ketakutan seorang diri, karena aku adalah monster yang kau buat. Tetap tenang meskipun
aku telah ditinggalkan oleh perhatian maupun kebanggaan duniawi. Aku harus
mengoreksi, aku bukan Kuda Betina yang lemah.
“Aku
kuat dan akan menyelesaikannya”
Sudah
jam enam pagi, Kuda Betina siap kembali ke jalur pacuan menuju Banyuwangi.
Melanjutkan perjalanan meski pacuan sudah berakhir kemarin. Para Kuda sudah
menyentuh garis akhir perjalanan, tapi bukan untukku. Aku si Kuda Betina Kuat
yang tidak ingin dihentikan oleh apapun. Aku hanya ingin terus berjalan
menyelesaikan perjalanan dan mematahkan ejekan para manusia yang berharap aku
menyerah.
“Tidak
ada yang bisa menghentikan langkahku. Hanya aku yang bisa menghentikan diriku.”
Aku terus meyakinkan diriku bahwa aku akan baik-baik saja. Aku sudah menghadapi
banyak hukuman dan rintangan untuk bisa sampai di sini, Lumajang.
“Come
here, sit down with me.” Seorang lelaki yang usianya sepertinya sama seperti
Bapakku, memanggilku untuk duduk disebelahnya. Ada keriput di bawah mata, di
lekukan bibir saat tersenyum menyapaku, aku ingat wajah ini seperti wajah Bapak
saat tersenyum.
“Hai
pak, mau kopi?” Aku menawarkan kopi pada lelaki yang menawariku duduk di sebelahnya.
“Arep
nengdi kowe?” Aku kaget mendengar dia bisa berbicara Bahasa Jawa.
Sebenarnya
dari wajahnya, aku sudah menebak dia orang Jawa. Tapi saat dia menyapaku
menggunakan Bahasa Inggris, aku kira dia warga negara asing.
“Mau
ke Banyuwangi pak” jawabku sambil duduk di sebelahnya.
“Aku
ora iso Bahasa Indonesia. Isoku Bahasa Jawa ngoko.” Kali ini aku kaget. Tidak
bisa Bahasa Indonesia, tapi bisa Bahasa Jawa. Orang mana dia?
“Aku
wong Jawa Tengah. Wes suwi digowo Londho pindah Suriname. Kangen tanah Jawa,
aku ngajak anakku wedok.”
Dari
dalam recepsionis muncul perempuan berwajah Belanda, usianya sepertinya sama
denganku. Perempuan itu mengenalkan dirinya, namanya Michelle Nadine Martoredjo.
“Iki
anakku wedok, aku Marto.” Tak membutuhkan waktu lama, aku mudah akrab dengan
Pak Marto dan Michelle. Hingga saling bertukar akun sosial media, saling
berbagi pengalaman saat travelling, karena kami sama-sama menyukai perjalanan
dan keindahan alam semesta.
Kisah
yang indah, Bapak dan Anak Perempuan yang bisa menikmati waktu bersama. Di Lumajang
aku menemukan kembali irisan memori buruk yang telah tumbuh menjadi memori baik.
Aku menguliti setiap perjalanan hidup. Semua telah Bapak ajarkan dan kini aku
menjalaninya. Hidup ini memiliki dua sisi, baik dan buruk. Keduanya tidak bisa
dipisahkan. Kebaikan akan muncul menggantikan yang buruk. Sementara keburukan akan
selalu ada untuk memberi pengakuan pada kebaikan. Mesin waktu menarik diriku
untuk melihat keduanya tanpa jeda masa, sehingga aku bisa menerima baik dan
buruk dengan seimbang.
Comments