KOPI C U R H A T
Siang
ini, secangkir kopi, segelas es kopi, dan snack lumpia ayam adalah cara
mempertemukan dua hati sepasang sahabat yang lama tak saling curhat.
~
for Dewi ~
Aku memang ingin benar-benar
mengirimkan kartu pos ini kepadamu. Biar saja dianggap cupu, aku selalu tak
peduli dengan cara pikir orang jaman sekarang, menjunjung tinggi sebuah gengsi,
bahkan mendewakan teknologi. Aku adalah salah satu manusia paling kuper, yang nyatanya
bisa mendapat tempat di hatimu, orang yang super. Aku hanyalah seorang karyawan
kantoran yang menanti datangnya tanggal sepuluh, lalu menghabiskannya dengan
menyetorkan uang lembaran sukarno hatta itu kepada kasir kantor pembiayaan
kredit kendaraan. Lantas sisanya, hanya bisa kuhabiskan dalam sebulan untuk
makan dan ngopi di café biasa, sangat biasa. Bahkan untuk membayar setoran
asuransi pun perlu suntikan dana dari orang tua.
**
Tujuh tahun yang lalu. Kau
tertunduk malu, tak lama kemudian menangis pilu. Sedihmu menyeruak. Sudah tiga
hari ini, kau hanya makan sekali dalam sehari. Tinggal sendiri di kamar kost,
bukannya membuatmu bisa menikmati kebebasan, namun sebaliknya. Hidupmu perlu
biaya, butuh uang untuk makan, membayar air isi ulang, berbelanja mie instan
dan beberapa telur ayam, serta bayar sewa kost-an.
Gajian masih tanggal dua puluh
lima, kau mulai gusar, karena besok adalah hari terakhir membayar sewa kost,
sementara aku hanyalah mahasiswa yang nggak lulus-lulus, uang jajan masih minta
mama. Untuk membayar sewa kost-mu, aku harus mengumpulkan uang jajan selama dua
belas hari. Sementara yang kau butuhkan adalah dua belas jam kedepan, harus ada
uang Dua Ratus Empat Puluh Ribu Rupiah.
“Mau tak mau, aku harus
mengumpulkan barang-barang ini dan membawanya ke pasar loak.” Kau mengemasi isi
almari, ada beberapa gaun ber-merk luar, celana jeans yang labelnya masih
menempel, dan kemeja mahal itu, yang rencanya akan kau berikan ke pacarmu
sebagai kado ulang tahunnya. Tapi kemeja itu, sedari dulu sudah kuincar,
sudinya kau jual kepadaku, aku mau. Entah buat apa, barangkali nanti setelah
lulus kuliah, aku bekerja sebagai karyawan kantoran, aku pasti nyaman pakai
kemeja itu, apalagi itu milikmu. Aku akan merasa selalu bersamamu.
“Yang ini aku beli deh. Uangnya
besok” kemeja mahal itu akhirnya berhasil aku selamatkan. Ini milikku. Ini
kenanganku. Bersamamu. Tak lama, kulihat senyummu kembali merekah, hanya dalam
hitungan menit aku bisa membuatmu hidup kembali dalam kondisi yang sangat
limit. Seperti kata-kata yang pernah kusematkan dalam setiap mimpi sedihmu,
tentang kesendirian, tentang kesepian, aku akans elalu ada dalam setiap tarikan
nafas kepedihanmu. Dan aku tak pernah peduli kapan kau akan membalas semua
perhatianku yang tercurah. Aku tak pernah memintanya, karena melihatmu bahagia
itu sudah cukup membuatku lega, meski seringkali aku harus kecewa, ketika
seorang lelaki berhasil memungutmu dan menidurimu bergantian di beberapa kasur
yang tak pernah kau duga.
Kau hanya mampu menangkap
hadirku adalah sebagai teman yang senantiasa setia menemani. Hanya teman. Cukup
teman.
**
Kartu pos yang kusimpan hampir
tujuh tahun yang lalu, kembali kupandangi. Hari ini, aku akan mengantarkan
kartu pos ini kepadamu, secara langsung. Tanpa perantara atau kurir manapun. Kartu
pos dengan bingkai warna emas. Polosan, dengan warna syahdu, ungu. Sudah
kusematkan tiga kata diatasnya. Kubaca sekali lagi, pantaskah aku menyerahkan
kartu pos ini kepadamu. Kupikir sekali lagi, dan aku sudah sangat siap untuk
mengantarkannya pada hatimu yang mungkin masih mau menungguku.
Mas pelayan datang, membuyarkan
lamunan. Sesuai pesanan, Es kopi dan lumpia ayam. Namun, kau belum juga datang.
Aku sabar menunggumu. Kesabaranku sama halnya ketika mendengar curhatanmu,
kepedihanmu pada saat tanggal sepuluh datang, saatnya menguras isi dompet untuk
bayar sewa kost. Dan kegembiraanmu pada tanggal dua puluh lima. Kita berdua,
pergi ke pantai, bercinta dengan pasir dan bir. Menggila dalam hidup yang
semakin gila. Berusaha melupa jika kita akan menjadi tua, dan tak selamanya
akan bisa tertawa. Aku melewatkan babak terbaik dalam hidupku, bersamamu.
Memelukmu tepat pada saat kau diputuskan kekasihmu.
Tanpa kusadari, nyatanya aku
selalu memanjatkan doa kapan kau akan diputuskan kekasihmu, lalu menghampiriku,
menangis dipundakku, dan kubalas dengan pelukan hangat hingga kau tak lagi
merasa, ada orang jahat yang siap menghujat ketika kau tak lagi bermanfaat.
Para lelaki yang bisanya hanya menidurimu, sementara kau hanya ingin diberi
perhatian, sebatas perhatian. Itu ada padaku, bukan pada lelaki manapun, namun
kau tal pernah pedulikan, selama tanganku terbuka dan aku siap menyambutmu
dengan pelukan ketika kau mulai dilupakan.
Aku tak sabar menunggumu
datang. Kusruput es kopi yang sudah setengah jam tadi kubiarkan es batunya
mencair. Rasa pekatnya kopi mulai memendar. Rasanya menjadi sedikit hambar.
Sesungguhnya, aku tak sabar ingin melihat wajahmu yang ayu, senyummu yang
selalu menggoda setiap mata lelaki yang memandang, dan kemampuanmu berbahasa
yang luar biasa. Kau seperti bidadari yang tak tampak oleh mata orang kebanyakan.
Tapi, aku bisa merasakan kehadiranmu, wangimu, dan kepakan sayap bidadarimu yang
tak mudah untuk kuenyahkan. Kau selalu hadir dalam setiap malamku selama tujuh
tahun kita tak bertemu. Kau tak bisa sirna meski masa telah kadaluwarsa, serta
angka sudah menjadi patokan usia kedewasaan.
Satu jam, aku sudah menunggumu.
Kau belum juga datang. Apakah perlu kupesankan lebih dulu, secangkir Long Black
kesukaanmu, supaya ketika kau datang, tak perlu lagi memesan, bahkan menunggu
barista membuatkan kopi pesananmu. Tapi, aku tak boleh gegabah. Siapa tau kau
sudah berubah. Tak lagi suka kopi, atau lebih suka cocktail. Memang sebaiknya
aku menunggumu, dan kini satu jam telah berlalu.
**
Kita memang tak wajar. Bukan
seperti kebanyakan para sahabat. Yang sangat dekat, namun sebatas curhat. Tapi
kita, lebih dari itu. Aku adalah manusia jelmaan semaumu. Kadang menjadi
adikmu, kakakmu, bisa pula menjadi ayahmu, bahkan kau pernah minta aku menjadi
kekasihmu. Aku selalu datang meski kau tak mengharapkan. Aku selalu ada meski
kau bersama lelaki yang berbeda-beda, namun aku tetap sama, duduk di tempat
yang sama dan tak pernah berubah sedikit, apalagi ketika kau dalam keadaan
sulit.
“Aku butuh seorang kekasih
malam ini, aku butuh lelaki yang bisa mencintaiku” pintamu sore itu, disaat
hujan mulai menderas, kulihat tak ada satupun kendaran di teras halaman
kost-an. Kau menjadi satu-satunya penghuni di rumah kost-an ini. Kita duduk
berdua di kursi rotan. Secangkir kopi instan dan beberapa puntung rokok. Dalam
suasana yang tak disangka, kau memintaku menjadi kekasih. Mampukah aku menjadi
seorang yang lebih? Lebih hebat dari mantan pacarmu, lebih kaya dari mantan
pacarmu, bahkan lebih ganteng dari mantan pacarmu.
“Kamu layak menjadi kekasihku”
kau berusaha meyakinkan meski tanpa kau bilang, aku sudah sangat siap
mencintaimu. Karena setiap hari dalam hidupku, hanyalah untuk membuatmu
bahagia, menjadikanmu sebagai tujuan dalam semua rangkaian perjalananku. Kau
teramat indah, hingga pada saat kau minta aku menjadi kekasihmu, aku tak
sanggup menjawabnya, aku masih berusaha menangkap apakah ini sebuah mimpi,
ataukah aku sedang tak sadarkan diri. Aku semakin termangu, dalam suatu sore
yang terbalut rasa haru, mendengar seorang perempuan ayu sepertimu memintaku
menjadi kekasihmu. Kau adalah serpihan senja yang terbawa tiupan angin surga,
menghanyutkan jiwa dan mengantarkanku pada rumah yang sudah lama ingin aku
jamah.
Namun aku masih ragu, ketika
kau bilang cinta. Karena selama kita berteman, dan beberapa kali kau berganti
pasangan, kenapa baru kau ucapkan sekarang. Sementara perhatianku tak pernah
berlayar jauh, hanya terus menungguimu disisi yang tak terlihat, dalam bayang
yang kau lihat disaat kau kehilangan hasrat.
**
Seharusnya, tujuh tahun yang
lalu aku sudi menerima cintamu. Menjadi kekasihmu, sehingga aku tak kesulitan
menemukanmu, dan tak perlu mengadakan acara reuni sahabat seperti ini, yang
ujung-ujungnya aku kembali menanti, kapan kau datang disini. Duduk disampingku.
Sekedar say ‘halo’ lalu menanyakan ‘sekarang kerja dimana’ dan aku akan
melanjutkan menanya ke babak utama, ‘siapa kekasihmu saat ini’ lantas
kuberharap kau menjawab ‘aku masih sendiri’ dan aku tak menunggu lama, bilang
‘aku siap mendampingi hidupmu’.
Dan mengapa itu tak kulakukan
sejak dulu, di suatu sore yang tak kuduga kau nyatakan cinta, yang hanya
kubalas dengan senyuman. Aku terlalu muda untuk memenuhi inginmu, untuk
menidurimu, untuk memuaskan keintimanmu. Ketakutanku jika aku tak sanggup
membayari kopi mahalmu, tak bisa membelikanmu baju mahal, dan membiayaimu
perawatan salon. Ketakutanku yang besarnya tak seberapa dibanding perhatian
yang selama ini jumlahnya milyaran, semua kusediakan untukmu.
Memang seharusnya aku
menyadari, yang kau butuhkan bukan hanya sebuah makan malam romantis, pembiayaan
perawatan salon mahal, bahkan cinta satu malam. Kau ingin perhatian yang
menjadi rutinitas, cinta tulus yang tersirat dalam kesediaan mendengar keluh
kesah, dan semua yang pernah kulakukan sebagai sahabatmu, itulah yang kau mau.
**
Seseorang menepuk pundakku dari
belakang. Baunya wangi, menghanyutkan indera-ku, menarikku kedalam kenangan
tujuh tahun silam. Ini parfum yang sama dengan perempuan yang kukenal, yang
pernah memintaku menjadi kekasih, dan hanya kubalas dengan senyum manis. Benar.
Perempuan itu datang juga. Perempuan yang sama, yang bayangnya selalu ada dalam
penantian tujuh tahunku. Perempuan yang selalu minta diperhatikan. Perempuan
yang sering dikecewakan pasangannya. Perempuan yang pernah mengutarakan isi
hatinya pada lelaki yang sedari tadi menantinya. Perempuan dengan senyum yang
selalu menghipnotis setiap mata lelaki yang memandangnya. Bahasa tubuhnya yang
teramat luar biasa. Kau masih sama. Masih cantik. Masih luar biasa. Namun,
masihkan kau sendiri? Tak sabar ingin kutanya.
“Biel, kamu sendirian? Mana
pacarmu?” sapamu seraya meletakkan tas di sofa sampingmu. Kau rapikan cara dudukmu,
memperbaiki tatanan rambutmu, dan memanggil mas pelayan, memesan Long Black.
Lalu, seperti sudah menjadi rutinitas, kau ambil sebatang, lalu kau bakar
tembakau itu, sekali hisap lalu lepas. Kau kembali mengulang pertanyaan yang
sama, ‘mana pacarmu?’ sementara aku masih termangu memandangimu yang semakin
ayu. Semakin tak kupercaya kau ada disini bersamaku. Dalam sebuah siang yang
sudah dirancang oleh Tuhan. Sebuah hari yang dipilihkan juru kalender supaya
kita bisa kembali saling memandang, saling bilang ‘kangen’ dan rasa-rasa saling
yang lain.
“Masih jomblo” jawabku santai
yang sesegera disambut tawamu. Sumringah. Senyummu mengisyaratkan keprihatinanmu
tentang kesendirianku, atau kebahagiaanmu mengetahui aku yang masih sendiri dan
ingin menemukanmu kembali, karena memang tak pernah mampu kucari orang
sepertimu, orang yang sangat ingin diperhatikan. Dan tahukah kau, perhatianku
padamu kini jumlahnya bukan lagi milyaran, namun triliun. Semua kukumpulkan
hanya untuk menyambutmu kembali dalam pelukan, dalam kisah duka bersama, dan
tawa lepas yang dulu sering kita lakukan bersama.
“Dua puluh delapan tahun, dan
kamu masih jomblo?” kau raih asbak lalu mengetakkan abu rokok. Meyakinkan bahwa
aku benar-benar jomblo. Aku mulai cemas, sepertinya kamu sudah tak jomblo, atau
kau sudah punya kekasih, dan mungkin saja kau sudah menikah, punya anak… anak…
oh tidak! Aku tertinggal. Tertinggal oleh perasaan yang malu-malu untuk
diutarakan, yang kuanggap tak pantas aku menjadi kekasihmu kala itu. Mahasiswa
yang belum berpenghasilan, tak bisa memacari perempuan secantik dirimu. Meski
sebenarnya yang kau butuhkan hanyalah perhatian dan kasih sayang. Dan aku
gudang dari segala kasih sayang yang kau butuhkan selama ini.
Pesanan Long Black datang,
wajahmu berubah sangat gembira. Dan sesekali kau bilang, ‘ini kopi favoritku.
Dan aku sangat ingin menikmati kopi ini hanya berdua denganmu.’
Baru saja, aku dapat isyarat.
Aku tak boleh terlambat. Kuambil kartu pos yang telah lama kusimpan, yang mampu
menguraikan segala perasaan penasaran. Tentang rasa yang melebihi sebuah
pertemanan. Mengenai tiga kata yang bisa menjabarkan rasa ingin saling
memiliki, secara tekstual, bukan sekedar tindakan atau bahkan hanya perhatian.
Karena hubungan kita memang harus diikrarkan, supaya kau tahu, cintaku bukan
sekedar bau abab yang terbiasa diumbar.
Wajah ayumu berubah menjadi
kaku, ketika kuserahkan lipatan kartu pos yang tersemat foto presiden Suharto.
Kagetmu pasti bukan tentang kartu pos itu, namun tentang usia kartu pos-nya,
dan kau pasti ingat dimana aku mendapatkan selembar kartu pos itu. Ketika kita
tiba di sebuah mini market, membeli dua botol beer dalam perjalanan menuju tepian
pantai, di malam itu. Tak ada uang kembalian, kasir memaksaku menerima puluhan
butir permen karet, namun yang kupilih adalah kartu pos. Dan benar, kartu pos
ini memang tentang kenangan, tentang kutipan malam yang tak bisa kulupakan,
dimana aku yakin suatu saat akan memintamu menjadi bagian hidupku, entah kapan
dan aku menjadi lelaki kesekian.
Kau buka lipatan kartu pos
pemberianku, lalu senyummu merekah, mukamu memerah, ketika kau temukan tiga
kalimat di dalamnya, ‘Aku mencintaimu, boleh?’
“Sangat boleh” Ucapmu lirih.
Comments