Aku berharap hujan turun deras malam ini. Mengalirkan kerinduan
pada dia, yang sedari tadi bilang, “sebentar lagi”. Sudah satu jam lebih aku
menungguinya. Setelah dua tahun aku tak bisa menemuinya. Selama dia dalam masa
karantina, saat dimana manusia dikembalikan menjadi benar, begitu menurut para
ahli kejiwaan. Dan kebenaran yang tak pernah kudapatkan dari orang lain selain perempuan
sempurna itu. Wajahnya ayu, tubuhnya gemulai, dan senyum menggoda. Tapi aku tak
benar-benar bisa mendapati senyumnya lagi. Perempuan dengan kesempurnaan yang membawanya
melampaui kenormalan manusia, dan tak bisa dihentikan pada titik klimak, dia
terus melaju, melompati kewajaran sebagai manusia. Dia gila.
Aku pun hampir gila jika terus menungguinya, maka kupinta hujan
turun dengan deras, supaya dia tak lagi merasa mendusta, ini akan menjadi
alasan tepat baginya untuk tak menemuiku malam ini. Dan aku kembali meneguk
kopi kecut khas Arabica yang dipanen oleh tangan barista yang menyajikannya.
Seorang lelaki yang sedari tadi juga tak tentu dalam diam duduknya. Barista itu
pun sedang menanti. Entah perempuan entah lelaki, yang kutahu dia sedang
menanti datangnya seorang pembeli. Barista itu hanya memiliki seorang yang
memesan kopi Arabica, yang hampir satu jam juga menanti, itu aku.
Kami hanya berjarak beberapa jengkal, dan tak saling menyapa,
hanya ucapan pertama yang kudapatkan dari mulut barista itu, “selamat datang”.
Lalu secangkir kopi Arabica datang, barista itu kembali ke tempatnya, juga
dalam penantiannya, sama halnya denganku, yang sedang menantimu. Matanya
seketika terbangun dalam raga yang tak pernah tidur, ketika melihat mobil hitam
berhenti tepat dimuka kedainya. Aroma penasaran terpancar dalam balutan muka
kaku, barista itu bangkit menuju pintu dengan kalimat sama dia mengucapkan,
“selamat datang”.
Seorang perempuan di ujung pintu menyambut senyum barista, merekah
merah melepaskan rasa kangen. Senyum kecil sebagai basa basi pembuka sebuah
pelukan, hangat, erat. Aku pun merasakan. Pelukan itu yang ingin kuberikan
padamu, yang kunanti sejak satu jam tadi. Pelukan yang tak juga mampu kuberikan
padamu, perempuan gila. Barista menuntun perempuan itu menuju sebuah meja yang
telah dipesan. Tanpa bertanya, barista menuju dapur lalu mengambilkan pancake
yang sudah membeku dengan topping yang sudah tak ayu, dan beberapa irisan
stroberi yang berceceran ditepian piring. Perempuan itu terkejut, bukan karena
pancake yang tak cantik, bukan karena rasa nikmat atau tidak. Dari senyumnya
yang melebar, aku tahu itu adalah pancake kesukaannya. Tak perduli tentang rasa
atau tata, pancake itu dilahap hingga habis oleh si perempuan.
Barista tak lagi murung, karena setelah kedatangan perempuan itu, datanglah
seorang, dua orang, tiga hingga banyak orang memenuhi kedai kopinya. Mereka datang
berpasangan, ada pula yang beramai-ramai. Kelompok manusia itu melepas rindu,
menyatu dalam lantunan lagu, Payung Teduh. Mereka bahagia. Sementara aku masih
menanti, seorang perempuan yang kuyakini akan membuatku bahagia, bukan untuk
malam ini saja, namun selamanya. Perempuan yang tak pernah bisa terhapus oleh
waktu.
Sekarang sudah dua jam tepat aku menunggumu. Kukirim lagi pesan
pendek, “aku masih disini. Kamu dimana?” Semenit, dua menit, dan sudah setengah
jam, tak ada pesan balasan. Barangkali kau tertidur, atau kau lupa menyalakan
bunyi sehingga kau tak tahu aku mengirimkan pesan untukmu. Dan barangkali kau
sudah pergi, dalam perjalanan, dan hampir sampai. Sehingga tak sempat untuk
membalas pesan ini. Dan aku masih duduk terdiam di ujung ruangan kedai kopi
ini, dengan secangkir Arabica.
Kini, sudah tiga jam. Mataku tak pernah mau lepas dari setiap
gerak jarum yang menggodaku untuk menilik inbox dalam handphone, berupaya
mengumpulkan rasa rinduku, yang menandai sudah berapa lama aku disini untuk menungguimu.
Penantian yang hampir sama dengan seorang barista ketika sore tadi, yang telah
dia dapati perempuan yang dinantinya. Sementara aku masih menunggumu. Tapi, aku
tak segusar muka barista. Aku duduk nyaman, tak segalau barista. Dan, aku tak
pernah menyiapkan kado istimewa seperti barista dengan pancake yang sudah
membeku dengan topping yang sudah tak ayu, dan beberapa irisan stroberi yang
berceceran ditepian piring. Aku tak pernah menyiapkan apapun untukmu.
Sama halnya ketika aku nekat mengajakmu mendaki gunung, aku tak
pernah menyiapkan apapun. Aku percaya, alam menuntun kita pada tempat yang
benar. Seperti kebenaran yang kudapatkan pada seorang perempuan, dirimu. Dan
kau temukan kebenaran yang melampaui akal manusia, kau gila. Kau mau menemaniku
mendaki tanpa perlengkapan apapun. Kau tak takut pada maut, selama bersamaku.
Kau bersiap menyerahkan apapun, karena kau telah mendapatkanku. Tapi barista
itu, menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya, duduk di depan seorang
perempuan penggila pancake, yang datang tepat pada saat pancake itu disimpan
dibalik meja rahasianya. Aku tak punya apa-apa untuk memberikan kejutan indah
untukmu. Aku memiliki rindu untuk kau tertawai atau kau tangisi. Aku menyisakan
sesak yang memenuhi rongga dadamu, yang setiap pagi kau elus dengan tetesan air
mata dalam setiap doa yang kau panjatkan. Aku memiliki janji untuk terus
membahagiakanmu, dalam suka dan duka. Aku memiliki keberanian yaitu menikahimu
dengan kenekatan anak manusia.
Dua tahun aku tak menemukanmu. Kau tak mendapatiku. Meski kita
sama-sama ada. Dalam sebuah waktu yang berjeda. Dalam ruang kosong, kau mampu
menembus adaku. Kudapati tangisanmu di tengah malam selepas kau meninggalkan
panti rehabilitasi. Selepas kau menanggalkan rasa pahit yang kau nikmati dalam
setiap detik tak kutemui. Aku bersalah telah membiarkanmu sendiri. Kau menanti.
Aku menanti. Alam mempertemukan kita, malam ini, di sebuah kedai kopi, ketika
kuseduh Arabica, dan kau sedang asik berbincang dengan barista yang
memberikanmu pancake istimewa. Kau bahagia dengannya, bukan dengan aku yang tak
bisa kau temukan. Aku duduk beberapa jengkal dari tempatmu.
“siapa yang pesan kopi itu?”
“seorang lelaki yang katanya sedang menanti istrinya.”
“dimana dia?”
“entahlah, kopinya juga masih utuh.”
Aku menyesal telah mengajakmu mendaki, mengantarkan kita pada
perpisahan. Aku menyesal telah membuatmu gila, karena tak lagi mampu mengecupku
pada setiap pagi. Aku masih duduk disini, tak pergi kemana.
Comments